Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala.
Oleh karena itu tidak boleh mencelanya.
Sebagian orang merasa jengkel
dengan turunnya hujan, merasa bahwa hujan adalah penghambat kegiatan
kesehariannya, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah
Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bila melihat angin kencang
dan mendung hitam, khawatir kalau-kalau itu adalah sebab azab yang
diutus oleh Allah sebagai hukuman atas kemaksiatan manusia. Sehingga
kekhawatiran itu sangat tampak jelas di wajahnya.
Sedangkan melaksanakan doa istisqa’ dengan mengerjakan shalat
istisqa’ adalah karena hujan itu berada di bawah kekuasaan Allah, tidak
turun kecuali dengan perintah-Nya. Maka jika lama tidak turun hujan,
Islam memerintahkan untuk berdoa kepada Dzat yang menciptakan dan
menguasai hujan tersebut, yaitu Allah Ta’ala semata. Mendirikan shalat
istisqa’ juga sebagai bentuk tawassul agar doa dikabulkan dan permintaan
dipenuhi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. . .” (QS. Al-Baqarah: 153)
Jika Hujan Sudah Turun
Berkaitan dengan hujan, Allah menjadikannya sebagai nikmat dan rahmat
bagi makhluk-makhluk-Nya, tidak terkecuali manusia. Bahkan Al-Qur’an
menyebutkannya sebagai sumber kehidupan.
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)
Namun di satu sisi, Allah juga pernah menjadikan hujan dan
berlimpahnya air sebagai hukuman atas kaum pembangkang, seperti yang
menimpa kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam.
وَنُوحًا إِذْ نَادَى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَنَجَّيْنَاهُ
وَأَهْلَهُ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ وَنَصَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْمِ
الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ
فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan
Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta pengikutnya
dari bencana yang besar. Dan Kami telah menolongnya dari kaum yang
telah mendustakan ayat-ayat Kami Sesungguhnya mereka adalah kaum yang
jahat, maka Kami tenggelamkan mereka semuanya.” (QS. Al-Anbiya’: 76-77)
Maka saat turun hujan, kaum muslimin yang menyaksikannya berharap
agar hujan tersebut membawa kebaikan dan menjadi rahmat sebagaimana yang
pernah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di antara doa/dzikir tersebut adalah:
Pertama:
Membaca doa:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI’A
Artinya: Ya Allah, (jadikan hujan ini) hujan yang membawa manfaat (kebaikan).
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
“Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila melihat hujan
beliau berdoa: ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI’A (Ya Allah, -jadikan hujan
ini- hujan yang membawa manfaat -kebaikan-.” (HR. Al-Buhari)
Kedua:
membaca :
رَحْمَةٌ
rahmatun
Artinya: ini adalah rahmat.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
apabila terjadi angin kencang dan awan tebal maka beliau sangat
khawatir yang dapat diketahui melalui wajah beliau. Beliau
mondar-mandir. Dan jika turun hujan, maka beliau terlihat senang dan
hilang kekhwatiran tadi. Lalu ‘Aisyah menanyakan kepada beliau perihal
tadi. Maka beliau menjawab, “Sungguh aku khawatir kalau itu menjadi azab
yang ditimpakan kepada umatku.” Dan apabila beliau melihat hujan,
beliau bersabda: rahmatun (ini adalah rahmat). (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim menjelaskan
tentang makna hadits di atas, “Di dalamnya terdapat anjuran bersiaga
dengan mendekatkan diri kepada Allah dan berlindung kepada-Nya saat
terjadi perubahan kondisi alam dan munculnya penyebab musibah.
Kekhawatiran beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kalau-kalau diazab dengan maksiatnya ahli maksiat. Dan gembiranya beliau karena hilangnya sebab kekhawatiran.”
Ketiga:
Menisbatkan hujan kepada Allah, bukan kepada selainnya seperti kepada bintang.
Dari Zaid bin Khalid Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan, kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada
tahun Hudaibiyah, lalu pada suatu malam kami mendapat hujan. Maka pada
seusai beliau mengimami kami pada shalat shubuhnya, beliau menghadap
kepada kami, lalu bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh
Rabba kalian?’ Kami menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’
Kemudian beliau bersabda:
قَالَ اللَّهُ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِي
فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَبِرِزْقِ اللَّهِ
وَبِفَضْلِ اللَّهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا
مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَجْمِ كَذَا فَهُوَ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
كَافِرٌ بِي
“Allah berfirman: di pagi ini ada di antara hamba-hamba-Ku yang
beriman kepada-Ku dan yang ingkar kepada-Ku. Adapun orang yang
mengatakan, ‘kami diberi hujan karena rahmat Allah, rizki dan
karunia-Nya,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kufur terhadap
bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan, ‘kami diberi hujan karena
bintang ini dan bintang itu,’ maka ia beriman kepada bintang-bintang
dan kufur kepada-Ku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, lafaz milik Al-Bukhari)
Keempat: memperbanyak doa saat turun hujan, karena termasuk waktu yang mustajab. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
اطلبوا استجابة الدعاء عند التقاء الجيوش و إقامة الصلاة و نزول الغيث
“Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan.”
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak: 2/114 dan dishahihkan olehnya. Lihat
Majmu’ fatawa: 7/129. Dishahihkan Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Shahihah no. 1469 dan Shahih al-Jami’ no. 1026)
PENUTUP
Islam mengajarkan banyak zikir dan doa pada beberapa kondisi. Semua
itu agar hamba Allah selalu ingat dan kembali kepada-Nya. Menyadari
bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya. Sehingga dia senantiasa berharap
dan memohon kebaikan hanya kepada-Nya semata. lalu diikuti dengan
syukur kepada-Nya dengan menggunakan nikmat untuk taat kepada-Nya. Dan
seperti itu pula saat melihat hujan turun.
[agoezta]
Senin, 30 Maret 2015
Perintah Sholat Jum'at
Perintah Sholat Jum'at Terkandung dalam surat Al-Jumu'ah ayat 9-10
Allah SWT berfirman:
Artinya:
"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli [aktivitas].
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(QS. Al-Jumu'ah : 9)
Kemudian disempurnakan dengan ayat berikutnya:
"Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
(QS. Al-Jumuah : 10)
Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli [aktivitas].
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(QS. Al-Jumu'ah : 9)
Kemudian disempurnakan dengan ayat berikutnya:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا
فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: "Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
(QS. Al-Jumuah : 10)
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala
memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah
adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan
bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala
juga melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar
seseorang tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak
wajib, tentu Allah Subhanahu wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah
hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya Jum’atan, yaitu hadits
Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib atas
setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak
sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam
as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu’ 4/349, demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3111)
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah menukil adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau, yaitu al-Ijma’ dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t dalam al-Majmu’ SyarhulMuhadzab (4/349).
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah menukil adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau, yaitu al-Ijma’ dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t dalam al-Majmu’ SyarhulMuhadzab (4/349).
KEUTAMAAN SHOLAT JUM'AT
Anugerah Allah Subhanahu wata’ala
kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara
anugerah tersebut adalah shalat Jum’at yang dikerjakan oleh hamba.
Di samping mendatangkan pahala, shalat
Jum’at juga menjadi pembersih dosa antara Jum’at tersebut dan Jum’at
berikutnya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنِ
اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ
أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِي مَعَهُ غُفِرَ
لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلَاثَةٍ
أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu shalat (sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya,
sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya,
diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah
tiga hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
ANCAMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT JUM'AT
Melaksanakan shalat Jum’at adalah syiar
orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan
dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتَمِنَّ اللهُ عَلَى
قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Hendaknya orang-orang berhenti
meninggalkan Jum’atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu wata’ala akan
menutup hati-hati mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang
yang lalai.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma)
Apabila seseorang ditutup hatinya, dia
akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal
yang memudaratkan (membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman yang keras
terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan Jum’atan. Juga
menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan
diabaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (lihat Subulus Salam 2/45)
Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkandalam al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya), “Barangsiapa meninggalkan 3 Jum’atan tanpa
uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin.” (Shahih at-Targhib no.
728)
ATAS SIAPA SHOLAT JUM'AT DIWAJIBKAN?
Shalat Jum’at wajib atas golongan berikut :
1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum’atan, bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْابِااللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
Apabila Allah Subhanahu wata’ala
tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu
ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima.
(lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/10)
Adapun anak kecil yang belum baligh
tidak wajib Jum’atan karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian,
anak laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih),
dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat Jum’at.
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّ ةَالِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ
“Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila sudah berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Sabrah radhiyallahu ‘anhu. Al-‘Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami’)
Sementara itu, orang yang tidak berakal
(gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan
kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ
الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena terangkat dari tiga golongan :
dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia
dewasa, dan dari orang gila sampai dia (kembali) berakal (waras).”
(Shahih Sunan at-
Tirmidzi no. 1423)
Yang dimaksud dengan “pena terangkat” adalah tidak adanya beban syariat.
2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum’at atas perempuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ اِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib
ditunaikan oleh setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat orang:
budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan sahih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ dan al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ No. 592)
Seseorang yang berkelamin ganda (ambiguousgenitalia,
keraguan alat kelamin, -red.) tidak wajib Jum’atan karena tidak
terwujudnya persyaratan pada dirinya. Orang yang seperti itu tidak
diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, padahal hukum asalnya
seorang itu terbebas dari
tanggungan/kewajiban sampai yakin
(adanya) persyaratan yang menjadikan ia diwajibkan. Sementara itu, di
sini belum terbukti adanya persyaratan tersebut. (asy-Syarhul Mumti’
5/7)
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Teman-teman kami (ulama mazhab Syafi’i) telah berkata, ‘Tidak wajib
Jum’atan bagi orang (yang berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan
tentang (syarat) wajibnya’.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/350)
3. Orang yang merdeka, yaitu yang bukan budak sahaya
Dalam masalah ini, ulama berbeda
pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa budak sahaya tidak wajib
Jum’atan berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada poin kedua. Hal
ini juga dikarenakan manfaat diri budak sahaya dimiliki oleh tuannya
sehingga ia tidak leluasa. (lihat al-Majmu’ 4/351, an-Nawawi rahimahullah, dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat,
apabila tuannya mengizinkannya untuk Jum’atan, dia wajib menghadiri
Jum’atan karena sudah tidak ada uzur lagi baginya. Pendapat ini yang
dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
(asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir (orang yang sedang bepergian)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
musafir tidak wajib Jum’atan. Di antara ulama tersebut adalah al-Imam
Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara hujah (argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu melakukan safar/bepergian dan beliau tidak shalat Jum’at dalam safarnya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
menunaikan haji wada’ di Padang Arafah (wukuf) pada hari Jum’at, beliau
shalat zhuhur dan ashar dengan menjamak keduanya dan tidak shalat
Jum’at. Demikian pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Mereka safar untuk
haji dan selainnya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang shalat
Jum’at saat bepergian. Demikian pula para sahabat Nabi selain
al-Khulafa’ ar-Rasyidin radhiyallahu ‘anhum dan yang setelah mereka.” (al-Mughni 3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil yang paling jelas tentang tidak wajibnya Jum’atan atas musafir adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Padang Arafah di hari Jum’at. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kemudian (muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah, lalu shalat ashar.” (Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)
Adapun tentang musafir yang singgah atau
menetap bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama
berpendapat disyariatkannya Jum’atan atas mereka karena mereka mengikuti
orang-orang yang mukim.
Di antara hujahnya, dahulu para sahabat yang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggal di Madinah beberapa hari, yang tampak, mereka ikut shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/15)
Ulama juga mensyaratkan diwajibkannya
Jum’atan atas seseorang yakni dia tinggal dan menetap di mana pun mereka
menetap dan dari apa pun rumah mereka terbuat. Berbeda halnya dengan
orang-orang badui yang senantiasa berpindah-pindah tempat untuk mencari
lahan yang banyak rumput dan airnya. Orang yang seperti ini tidak wajib
Jum’atan. (Lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/166-167)
Karena tinggal menetap di suatu tempat
adalah syarat wajibnya Jum’atan, orang-orang yang bekerja di tengah laut
seperti nakhoda, anak buah kapal (ABK), dan para musafirin yang ada di
atas kapal tidak wajib Jum’atan. Bahkan, sebagian ulama mengatakan tidak
sah jika mereka melakukan Jum’atan, sebagaimana pendapat asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Sebab, menurut petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Jum’atan itu tidak dilakukan selain di perkotaan atau perdesaan yang
memang tempat menetap. Adapun orang yang tengah berlayar, mereka tidak
menetap dan berpindah-pindah. Jadi, yang wajib atas mereka adalah shalat
zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hlm. 391)
5. Orang yang tidak ada uzur/halangan yang mencegahnya untuk menghadiri Jum’atan
Orang yang memiliki uzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menerangkan,
“(Kata) uzur sangat luas penjabarannya. Intinya adalah segala halangan
yang mencegah seseorang menghadiri pelaksanaan Jum’atan. Bisa jadi, hal
itu berupa sesuatu yang mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang
dikhawatirkannya, atau bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada
seorang pun yang bisa menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah
(takut dari) penguasa zalim yang akan berbuat kezaliman, hujan deras
yang terus-menerus, sakit yang mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk
uzur juga adalah seseorang yang mengurusi jenazah yang tidak ada yang
mengurusinya selain dia, yang apabila dia tinggalkan, jenazah itu akan
tersia-siakan dan rusak. (at-Tamhid 16/243-244)
6. Orang yang sakit
Dalilnya telah berlalu pada pembahasan orang yang tidak wajib Jum’atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi
keringanan di sini adalah apabila si sakit menghadiri Jum’atan, ia akan
menemui kesulitan yang nyata, bukan sekadar perkiraan. Maka dari itu,
masuk pula dalam hal ini adalah seseorang yang terkena diare berat. (al-Majmu’, an- Nawawi, 4/352)
Di antara uzur yang membolehkan
meninggalkan Jum’atan dan menggantinya dengan shalat zhuhur adalah
seorang yang diberi tanggung jawab atas sebuah tugas yang berkaitan
dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia dituntut untuk
melaksanakan tugas tersebut di waktu
shalat Jum’at, seperti aparat keamanan, petugas pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula dokter piket (dokter jaga)
di rumah sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia meninggalkan
tugasnya untuk shalat Jum’at diperkirakan akan berdampak pada lambannya
penanganan terhadap pasien yang membutuhkan pertolongan segera sehingga
bisa mengancam keselamatan pasien. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 8/189-192)
Khutbah, Syarat Sahnya Jum’atan?
Untuk sahnya shalat Jum’at haruslah didahului oleh khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum’atan. Tidak
sah Jum’atan tanpa adanya khutbah. Ini adalah pendapat ‘Atha,
an-Nakha’i, Qatadah, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan
Ashabur Ra’yi. Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain
al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata, ‘Sah shalat Jum’at semuanya, apakah
imam berkhutbah atau tidak, karena shalat Jum’at adalah shalat hari raya
sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah seperti shalat Idul Adha’.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dalil kami adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah’.” (al-Jumu’ah: 9)
Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain), Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at dalam keadaan apa pun, padahal beliau bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.” (al-Mughni, 3/170-171)
Waktu Shalat Jum’at
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu
shalat Jum’at sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dari tergelincirnya
matahari hingga masuknya waktu ashar.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika matahari telah tergelincir.” (Shahih Muslim, “Kitab al-Jumu’ah”)
Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka shalat Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari 2/387)
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Landasan pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صل الله عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ
إلَى جِمَالِنَا فَنُرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ
“Adalah Rasulullah shalat Jum’at
kemudian kami pergi menuju unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami
mengistirahatkannya ketika tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul Jumu’ah”)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, karena para sahabat
mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka setelah Jum’atan di saat
matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at
terjadi sebelumnya.
Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar (bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat
Jum’at mengimami manusia. Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi
dua kelompok. Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari
tergelincir dan sekelompok yang lain mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia
berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin Abi Thalib).
Terkadang kami telah mendapati adanya bayangan dan terkadang kami belum
mendapatinya.” (Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)
Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini
menjawab bahwa hal itu tidak menafikan bolehnya shalat Jum’at
sebelumnya. (Nailul Authar 3/310)
Kesimpulannya, shalat Jum’at
sebelum/menjelang tergelincirnya matahari itu boleh sebagaimana jika
dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang
dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah
hlm. 25).
Wallahu a’lam.
[agoezta]
[agoezta]
Tiap-Tiap Yang Bernyawa Akan Merasakan Mati
بسم الله الرحمن الرحيم
Kematian adalah sesuatu yang pasti menimpa siapapun manusia di dunia, yang mukminnya ataupun yang munafik atau yang kafirnya, ulamanya ataupun kaum awamnya, lelaki ataupun perempuannya, yang mudanya ataupun yang tuanya, kaum kayaknya ataupun miskinnya, golongan pejabat ataupun rakyat jelatanya dan selainnya, niscaya mereka semuanya akan mengalami kematian.
Hal tersebut sebagaimana yang telah banyak di alami oleh umat-umat terdahulu dan sekang ini, dan juga pernah dialami oleh seorang shahabat dari golongan Anshor yang diselenggarakan penguburannya oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum, sebagaimana persaksian al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu di dalam pembahasan dari hadits terdahulu.
"Maha berkah Allah, yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha perkasa lagi Maha pengampun."
[QS. Al-Mulk/ 67: 1-2].
Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan mati dan hidup. Jika Allah Azza wa Jalla telah menciptakan kehidupan bagi seorang manusia, maka Ia juga akan menciptakan kematian baginya. Maka kematian adalah sesuatu yang dipastikan akan dimiliki oleh setiap makhluk hidup sebagaimana Allah Jalla wa Ala pernah memberikan kehidupan kepadanya. Sebab setiap yang memiliki jiwa niscaya akan merasakan kematian, meskipun ia berusaha dengan maksimal dan optimal untuk selalu menjauhi dan menghindarinya. Kendatipun ia berada di dalam benteng kuat yang tak mudah dihancurkan senjata canggih apapun yang dijumpai di muka bumi, bungker kokoh yang keberadaannya sangat tersembunyi, istana megah yang diawasi oleh ribuan penjaga perkasa tak tertandingi namun tetap kematian itu akan datang menemui dan menghampirinya tiada peduli.
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna di dalam alqur’an bahwasanya
setiap yang berjiwa akan merasakan kematian dan ketidak-abadian. Karena
keabadian itu hanya ada di hari kiamat kelak, di dalam surga dengan
segala kenikmatannya atau di dalam neraka dengan segala kesengsaraanya.
Apakah kematian yang merenggut nyawanya itu karena penyakit yang
menimpanya, kecelakaan kendaraan atau pesawat yang ditumpanginya,
terbenam dalam kubangan air yang menenggelamkannya, teruruk dalam
bongkahan-bongkahan tanah yang menguburnya, terbakar oleh api yang
mengepungnya, terbunuh oleh lawan yang berseteru dengannya ataupun
dengan sebab-sebab lainnya.
Setiap manusia meskipun ia takut mati sehingga ia hanya berdiam diri di rumahnya dalam rangka menghindar dari kematian maka jikalau telah ditentukan kematian kepadanya niscaya ia akan mendatangi tempat dimana ia akan mati di tempat tersebut dan akan tertimpa sesuatu peristiwa yang menyebabkan kematian yang telah ditentukan baginya. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat berikut:
Berkata Asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah:
“Terdapat penetapan akan dasar qodlo dan qodar Allah. Bahwa orang yang telah ditetapkan kematian baginya di suatu tempat maka ia pasti akan mati di tempat tersebut”. [2]
Maka kematian itu niscaya akan menghampiri setiap jiwa dalam berbagai keadaan, apakah matinya itu lantaran memperjuangkan agama Allah dengan bentuk berjihad dengan harta, lisan dan jiwa, kelelahan tatkala mengerjakan beberapa ibadah dari ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh agama, membantu dan mengajak orang lain untuk ikut berpartisipasi di dalam menegakkan Islam sebagai agama yang paling bersahaja dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengandung kemuliaan. Ataukah matinya itu ketika sedang membela kebatilan yang selama ini ia yakini, melakukan berbagai kemaksiatan yang selama ini ia sukai, membantu dan mengajak orang lain untuk menentang dan melawan kebenaran yang selama ini ia benci dan jauhi dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengundang kenistaan. Mati berbalutkan kemuliaan ataukah mati berselimutkan kenistaan, itulah dua pilihan yang mesti diambil oleh setiap manusia yang niscaya akan melampaui dan memilih salah satu di antara keduanya.
Bahkan di dalam setiap kematian itu terdapat sekarat, yang mesti di
alami oleh setiap manusia baik yang mukmin, munafik ataupun kafirnya.
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat secara
pasti. Ya Allah mudahkanlah sekaratul maut atas kami”. [3]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penetapan adanya adzab kubur dan sekaratul maut”. Di dalam hadits, “Bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat”. [4]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat dan kesulitan sehingga para Nabi Alaihim as-Salam pun meminta diringankan dari sekarat ini”. [6]
Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwasanya setiap kematian yang menimpa seseorang itu niscaya terdapat sekarat, yaitu suatu tekanan yang amat berat lagi menyulitkan ketika menjelang kematiannya sehingga orang tersebut seperti orang yang kehilangan akal dan kesadarannya sebagaimana keadaan orang yang sedang mabuk. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala meringankan kita dari sekaratul maut ini seringan-ringannya.
Hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas menjadi dalil akan bolehnya bagi orang yang sakit untuk mempergunakan air pada bagian kepalanya (ngompres) untuk meringankan sakit panas yang menimpanya dan juga disunnahkan baginya untuk selalu memohon ampunan dan rahmat dari-Nya. Hal ini juga didukung oleh dalil berikut ini,
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sepatutnya bagi orang yang sakit itu untuk meminta ampunan dan rahmat. Ia tidak boleh berputus asa dari pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak boleh berputus harapan dari rahmat-Nya”. [8]
Maka dianjurkan bagi setiap muslim, ketika tertimpa sakit apalagi sakitnya itu mendekati tanda-tanda kematian untuk memperbanyak meminta ampun dan rahmat kepada Allah Jalla dzikruhu, selalu memuji-Nya, menghiasi diri dengan berbaik sangka kepada-Nya dan senantiasa berharap berjumpa dengan-Nya dan takut terhadap akibat dari dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Hal ini sebagaimana telah disinyalir di dalam dalil-dalil hadits berikut ini,
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengambil seorang anak perempuan asuh yang hampir meninggal dunia. Beliau meletakkannya di atas dadanya (memeluknya), lalu ia meninggal dunia di dalam pelukannya. Maka Ummu Ayman radliyallahu anha pun berteriak menangis. Dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Iapun berkata, “Bukankah aku juga melihatmu menangis wahai Rosulullah?”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallampun bersabda, “Aku tidaklah menangis, ini hanyalah rahmat (rasa kasih sayang)”.
Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemui seorang pemuda yang sedang mendekati kematian. Beliau bersabda, “Apa yang kamu rasakan?”. Ia menjawab, “Demi Allah, wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengharapkan Allah dan aku takut terhadap dosa-dosaku”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Begitu pula disyariatkan bagi setiap muslim yang sedang menemani atau menjaga keluarganya yang sedang sakit untuk selalu mentalkinkan kalimat syahadat baginya itu dengan ucapan “laa ilaaha illallah”. [12] Yakni muslim tersebut membimbing orang yang sakit itu untuk dapat melafazhkan atau mengucapkan kalimat syahadat itu dengan fasih dan benar, sebab jika akhir hidup saudaranya itu ditutup dengan ucapan tersebut maka ia akan masuk ke dalam surga, meskipun ia diadzab terlebih dahulu di dalam neraka sesuai dengan perbuatan-dosa-dosa yang telah ia kerjakan. Hal ini pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika membesuk pamannya yaitu Abu Thalib dan seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Beliau menawarkan Islam kepada keduanya dengan cara mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Abu Thalib menolak ajakan beliau dan anak Yahudi itu menerima ajakannya. [13]
Hal ini mesti dijaga oleh setiap muslim sebab setan tidak pernah lalai di dalam menyesatkan dan menggelincirkan manusia di setiap keadaannya, sehingga ia berusaha menutupi akhir kehidupannya dengan kesudahan yang buruk (su’ul khatimah). Ma’adzallah.
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan selalu mengamati hamba di segala gerak geriknya. Apabila seseorang lalai dari manhaj Allah maka setan akan dapat menguasainya”. [17]
Jika setan senantiasa berusaha menggelincirkan setiap hamba di segala keadaannya, bahkan tatkala sedang makan yang ia berusaha menghilangkan atau melenyapkan berkah dari orang tersebut. Maka kesungguhannya untuk memalingkan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu akan lebih tatkala ada di antara mereka yang sedang meregang nyawa hendak meninggalkan dunia yang fana ini.
Dari sebab itu, hendaknya setiap hamba selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu memuji-Nya, memohon rahmat dan ampunan-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, meminta kepada-Nya agar diwafatkan dalam keadaan Islam dan Iman, dimudahkan dari sekaratul maut dan melazimkan lisan untuk berdzikir kepada-Nya. Begitupun keluarga yang mendampinginya ketika sakitnya, hendaknya membimbingnya dengan mentalkinkan kalimat “laa ilaaha illallah” kepadanya, menashihati dan menyuruhnya agar selalu sabar dan ridlo terhadap ketetapan-Nya. Janganlah mereka membiarkan celah sedikitpun bagi setan untuk dapat memalingkannya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Malaikat maut alaihi as-Salam adalah malaikat yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa.
Hadits dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu di atas juga menerangkan tentang nama Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa setiap orang yang telah ditentukan kematian atasnya dengan nama Malaikat maut Alaihim as-Salam. Hal inipun sebagaimana telah disebutkan di dalam ayat berikut ini,
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ini (yaitu Malaikat maut) adalah merupakan namanya di dalam alqur’an dan sunnah. Adapun penamaan malaikat Izrail itu tidak ada asalnya, (hal ini jelas) berbeda dengan apa yang telah mahsyur (terkenal) di sisi manusia. Barangkali nama tersebut adalah termasuk dari cerita israilliyat”. [18]
Kedatangan Malaikat maut ini diawali dengan datangnya beberapa malaikat yang menyertainya, apakah para malaikat yang berwajah putih bersinar laksana mentari, yang pada tangan mereka ada kain kafan dari kain kafan surga dan balsem dari balsem surga. Ataukah para malaikat yang berwajah hitam kelam, yang keras lagi bengis yang pada tangan mereka ada semacam karung goni dari neraka. Manakah di antara dua golongan malaikat itu yang datang?, maka itu menunjukkan keadaan orang yang hendak mati. Jika yang datang itu adalah golongan malaikat yang pertama maka yang hendak meninggal dunia itu adalah termasuk orang mukmin yang gemar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, yang kelak akan menempati surga dan meraih keridloan-Nya. Namun jika yang datang itu golongan malaikat yang kedua maka niscaya yang akan meninggal dunia itu adalah orang kafir atau munafik yang kerap berbuat dosa, yang kelak akan menempati neraka dan mendapatkan kemurkaan-Nya.
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((ia diwafatkan oleh utusan-utusan Kami)) yaitu Malaikat maut dan kawan-kawannya”. [19]
Demikian sekilas penjelasan tentang kematian yang pasti akan datang menghampiri setiap makhluk hidup, khususnya umat manusia. Kaum pria ataupun para wanita, para penguasa ataupun rakyat jelata, kaum berpendidikan ataupun kaum yang terhimpit kebodohan, para ulama ataupun kaum awamnya, golongan mukminin ataupun kaum munafikin dan kafirin, dan selainnya. Semuanya mereka pasti akan didatangi oleh maut tanpa terkecuali dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai umat Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang-orang yang siap menghadapi kematian dengan keimanan dan amal-amal shalih dan meninggalkan dunia yang fana ini dengan husnul khatimah.
[3] Aysar at-Tafasir: V/ 145.
[agoezta]
Kematian adalah sesuatu yang pasti menimpa siapapun manusia di dunia, yang mukminnya ataupun yang munafik atau yang kafirnya, ulamanya ataupun kaum awamnya, lelaki ataupun perempuannya, yang mudanya ataupun yang tuanya, kaum kayaknya ataupun miskinnya, golongan pejabat ataupun rakyat jelatanya dan selainnya, niscaya mereka semuanya akan mengalami kematian.
Hal tersebut sebagaimana yang telah banyak di alami oleh umat-umat terdahulu dan sekang ini, dan juga pernah dialami oleh seorang shahabat dari golongan Anshor yang diselenggarakan penguburannya oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum, sebagaimana persaksian al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu di dalam pembahasan dari hadits terdahulu.
تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ اْلمـُلْكُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِى خَلَقَ اْلـمَوْتَ وَ اْلحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَ هُوَ اْلعَزِيزُ اْلغَفُورُ
"Maha berkah Allah, yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha perkasa lagi Maha pengampun."
[QS. Al-Mulk/ 67: 1-2].
Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan mati dan hidup. Jika Allah Azza wa Jalla telah menciptakan kehidupan bagi seorang manusia, maka Ia juga akan menciptakan kematian baginya. Maka kematian adalah sesuatu yang dipastikan akan dimiliki oleh setiap makhluk hidup sebagaimana Allah Jalla wa Ala pernah memberikan kehidupan kepadanya. Sebab setiap yang memiliki jiwa niscaya akan merasakan kematian, meskipun ia berusaha dengan maksimal dan optimal untuk selalu menjauhi dan menghindarinya. Kendatipun ia berada di dalam benteng kuat yang tak mudah dihancurkan senjata canggih apapun yang dijumpai di muka bumi, bungker kokoh yang keberadaannya sangat tersembunyi, istana megah yang diawasi oleh ribuan penjaga perkasa tak tertandingi namun tetap kematian itu akan datang menemui dan menghampirinya tiada peduli.
Seperti dijelaskan dalam beberapa dalil berikut ini:
وَ مَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ اْلخُلْدَ أَفَإِين مِّتَّ فَهُمُ اْلخَالِدُونَ
"Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum
kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?." [QS
al-Anbiya : 34].
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ
"Setiap yang berjiwa akan merasakan mati."
[QS. Ali Imran : 185, Al-Anbiya : 35, dan Al-Ankabut : 57].
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَ مَا يَسْتَئْخِرُونَ
"Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya)." [QS al-Hijr/ 15: 5].
قُلْ إِنَّ اْلمـَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ
مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ اْلغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكَمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya,
sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan
dikembalikan kepada Allah, Yang mengetahui keghaiban dan yang nyata.
Lalu Ia akan beritakan kepada kalian apa yang kalian telah kerjakan." [QS. Al-Jumu’ah : 8].
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ اْلمـَوْتُ وَ لَوْ كُنتُمْ فِى بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun
kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." [QS. An-Nisa’/ 4:
78].
Setiap manusia meskipun ia takut mati sehingga ia hanya berdiam diri di rumahnya dalam rangka menghindar dari kematian maka jikalau telah ditentukan kematian kepadanya niscaya ia akan mendatangi tempat dimana ia akan mati di tempat tersebut dan akan tertimpa sesuatu peristiwa yang menyebabkan kematian yang telah ditentukan baginya. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat berikut:
قُلْ لَّوْ كُنتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ اْلقَتْلُ إِلَى مَضَاجَعِهِمْ
Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang
yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat
mereka terbunuh”. [QS Alu Imran/ 3: 154].
Berkata Asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah:
“Terdapat penetapan akan dasar qodlo dan qodar Allah. Bahwa orang yang telah ditetapkan kematian baginya di suatu tempat maka ia pasti akan mati di tempat tersebut”. [2]
Maka kematian itu niscaya akan menghampiri setiap jiwa dalam berbagai keadaan, apakah matinya itu lantaran memperjuangkan agama Allah dengan bentuk berjihad dengan harta, lisan dan jiwa, kelelahan tatkala mengerjakan beberapa ibadah dari ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh agama, membantu dan mengajak orang lain untuk ikut berpartisipasi di dalam menegakkan Islam sebagai agama yang paling bersahaja dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengandung kemuliaan. Ataukah matinya itu ketika sedang membela kebatilan yang selama ini ia yakini, melakukan berbagai kemaksiatan yang selama ini ia sukai, membantu dan mengajak orang lain untuk menentang dan melawan kebenaran yang selama ini ia benci dan jauhi dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang mengundang kenistaan. Mati berbalutkan kemuliaan ataukah mati berselimutkan kenistaan, itulah dua pilihan yang mesti diambil oleh setiap manusia yang niscaya akan melampaui dan memilih salah satu di antara keduanya.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُورًا
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus,
ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur."
[QS. Al-Insan : 3].
وَ جَآءَتْ سَكْرَةُ اْلـمَوْتِ بِاْلحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
"Dan datanglah sekaratul maut dengan sebenar-benarnya.
Itulah yang kamu selalu lari daripadanya."[QS. Qof : 19].
وَ لَوْ تَرَى إِذِ اْلظَّالِمـُونَ فِى غَمَرَاتِ اْلمـَوْتِ وَ اْلمـَلَائِكَةُ بَاسِطُوا أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمْ
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang
zhalim berada dalam tekanan sekaratul maut, sedangkan para malaikat
memukul dengan tangannya,
(sambil berkata), Keluarkanlah nyawamu." [QS.
Al-An’am/ 6: 93].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penetapan adanya adzab kubur dan sekaratul maut”. Di dalam hadits, “Bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat”. [4]
عن عائشة كَانَتْ تَقُوْلُ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ – عُلْبَةٌ فِيْهَا مَاءٌ –
يَشُكُّ عُمَرُ – فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيَمْسَحُ بِهَا
وَجْهَهُ وَ يَقُوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ
سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُوْلُ: فىِ الرَّفِيْقِ
اْلأَعْلىَ حَتىَّ قُبِضَ وَ مَالَتْ يَدُهُ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata:
“Sesungguhnya di hadapan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ada sebuah bejana
(yang terbuat
dari kulit atau mangkuk) –Umar ragu-ragu- yang berisi air.
Lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalam air itu dan membasuh wajahnya dengannya.
Beliau bersabda, “Laa ilaaha illallah (tiada ilah yang berhak
disembah kecuali Allah),
sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat”.
Kemudian beliau mengangkat tangannya seraya bersabda, “Berada di tempat
yang tinggi”.
Sehingga beliau wafat sedangkan tangannya mengendur/
terkulai.
[HR al-Bukhoriy: 6510. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].
[5]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat dan kesulitan sehingga para Nabi Alaihim as-Salam pun meminta diringankan dari sekarat ini”. [6]
Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwasanya setiap kematian yang menimpa seseorang itu niscaya terdapat sekarat, yaitu suatu tekanan yang amat berat lagi menyulitkan ketika menjelang kematiannya sehingga orang tersebut seperti orang yang kehilangan akal dan kesadarannya sebagaimana keadaan orang yang sedang mabuk. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala meringankan kita dari sekaratul maut ini seringan-ringannya.
Hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas menjadi dalil akan bolehnya bagi orang yang sakit untuk mempergunakan air pada bagian kepalanya (ngompres) untuk meringankan sakit panas yang menimpanya dan juga disunnahkan baginya untuk selalu memohon ampunan dan rahmat dari-Nya. Hal ini juga didukung oleh dalil berikut ini,
عن عائشة قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيِّ وَ هُوَ مُسْتَنِدٌ
إِلَيَّ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لىِ وَ ارْحَمْنىِ وَ أَلْحِقْنىِ
بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata,“Aku pernah mendengar Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam berkata sedangkan beliau sedang bersandar
kepadaku,
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan himpunkan aku di
tempat yang tinggi”.
[HR al-Bukhoriy: 5674 dan Muslim: 2444. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [7]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sepatutnya bagi orang yang sakit itu untuk meminta ampunan dan rahmat. Ia tidak boleh berputus asa dari pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak boleh berputus harapan dari rahmat-Nya”. [8]
Maka dianjurkan bagi setiap muslim, ketika tertimpa sakit apalagi sakitnya itu mendekati tanda-tanda kematian untuk memperbanyak meminta ampun dan rahmat kepada Allah Jalla dzikruhu, selalu memuji-Nya, menghiasi diri dengan berbaik sangka kepada-Nya dan senantiasa berharap berjumpa dengan-Nya dan takut terhadap akibat dari dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Hal ini sebagaimana telah disinyalir di dalam dalil-dalil hadits berikut ini,
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengambil seorang anak perempuan asuh yang hampir meninggal dunia. Beliau meletakkannya di atas dadanya (memeluknya), lalu ia meninggal dunia di dalam pelukannya. Maka Ummu Ayman radliyallahu anha pun berteriak menangis. Dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Iapun berkata, “Bukankah aku juga melihatmu menangis wahai Rosulullah?”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallampun bersabda, “Aku tidaklah menangis, ini hanyalah rahmat (rasa kasih sayang)”.
إِنَّ اْلمـُؤْمِنَ بِكُلِّ خَيْرٍ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِنَّ
نَفْسَهُ تَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ جَنْبَيْهِ وَ هُوَ يَحْمَدُ اللهَ عز و جل
“Sesungguhnya orang mukmin itu selalu di dalam kebaikan di atas
setiap keadaan, sesungguhnya jiwanya keluar dari jasadnya sedangkan ia
dalam keadaan memuji Allah Azza wa Jalla”. [HR Ahmad: I/ 273-274.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih]. [9]
عن جابر رضي الله عنه قَالَ:
َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم يَقُوْلُ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلاَثٍ قَالَ: لاَ يَمُوْتُ
أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَ هُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan tiga hal
sebelum wafatnya. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian
mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”. [HR Abu
Dawud: 3113, Muslim, Ibnu Majah: 4167 dan Ahmad: III/ 293, 325, 330,
334, 390. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]
Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemui seorang pemuda yang sedang mendekati kematian. Beliau bersabda, “Apa yang kamu rasakan?”. Ia menjawab, “Demi Allah, wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengharapkan Allah dan aku takut terhadap dosa-dosaku”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَجْتَمِعَانِ فىِ قَلْبِ عَبْدٍ فىِ مِثْلِ هَذَا اْلمـَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُوْ وَ آمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
“Tidaklah keduanya terhimpun di dalam hati seorang hamba di semisal
tempat ini melainkan Allah akan memberikan kepadanya apa yang ia
harapkan dan mengamankannya dari apa yang ia takuti”. [HR at-Turmudziy:
983, Ibnu Majah: 4261 dan Ibnu Abi ad-Dunya. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: hasan]. [11]
Begitu pula disyariatkan bagi setiap muslim yang sedang menemani atau menjaga keluarganya yang sedang sakit untuk selalu mentalkinkan kalimat syahadat baginya itu dengan ucapan “laa ilaaha illallah”. [12] Yakni muslim tersebut membimbing orang yang sakit itu untuk dapat melafazhkan atau mengucapkan kalimat syahadat itu dengan fasih dan benar, sebab jika akhir hidup saudaranya itu ditutup dengan ucapan tersebut maka ia akan masuk ke dalam surga, meskipun ia diadzab terlebih dahulu di dalam neraka sesuai dengan perbuatan-dosa-dosa yang telah ia kerjakan. Hal ini pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika membesuk pamannya yaitu Abu Thalib dan seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Beliau menawarkan Islam kepada keduanya dengan cara mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Abu Thalib menolak ajakan beliau dan anak Yahudi itu menerima ajakannya. [13]
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه و سلم : لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Talkinkan orang yang hendak
mati di antara kalian dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. [HR Abu
Dawud: 3117, Muslim: 916, 917, at-Turmudziy: 976, an-Nasa’iy: IV/ 5,
Ibnu Majah: 1444, 1445 dan Ahmad: III/ 3. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [14]
عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ
اْلجَنَّةَ
Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir
ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu
Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]
Hal ini mesti dijaga oleh setiap muslim sebab setan tidak pernah lalai di dalam menyesatkan dan menggelincirkan manusia di setiap keadaannya, sehingga ia berusaha menutupi akhir kehidupannya dengan kesudahan yang buruk (su’ul khatimah). Ma’adzallah.
عن جابر رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله
عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتىَّ يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا
سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمْطِ مَا كَانَ بِهَا مِنْ
أَذًى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَ لاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ
فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فىِ أَيِّ طَعَامِهِ
تَكُوْنُ اْلبَرَكَةُ
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian pada setiap
keadaannya, hingga akan mendatanginya disaat makan. Sebab itu apabila
jatuh sepotong makanan, maka hendaklah ia membuang (membersihkan)
kotorannya lalu memakannya. Dan hendaklah ia tidak membiarkannya dimakan
oleh setan Dan jika telah selesai makan, hendaklah ia menjilati jari
jemarinya, karena ia tidak tahu pada bahagian makanan yang manakah
adanya berkah”.
[HR Muslim: 2033. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [16]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan selalu mengamati hamba di segala gerak geriknya. Apabila seseorang lalai dari manhaj Allah maka setan akan dapat menguasainya”. [17]
Jika setan senantiasa berusaha menggelincirkan setiap hamba di segala keadaannya, bahkan tatkala sedang makan yang ia berusaha menghilangkan atau melenyapkan berkah dari orang tersebut. Maka kesungguhannya untuk memalingkan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu akan lebih tatkala ada di antara mereka yang sedang meregang nyawa hendak meninggalkan dunia yang fana ini.
Dari sebab itu, hendaknya setiap hamba selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu memuji-Nya, memohon rahmat dan ampunan-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, meminta kepada-Nya agar diwafatkan dalam keadaan Islam dan Iman, dimudahkan dari sekaratul maut dan melazimkan lisan untuk berdzikir kepada-Nya. Begitupun keluarga yang mendampinginya ketika sakitnya, hendaknya membimbingnya dengan mentalkinkan kalimat “laa ilaaha illallah” kepadanya, menashihati dan menyuruhnya agar selalu sabar dan ridlo terhadap ketetapan-Nya. Janganlah mereka membiarkan celah sedikitpun bagi setan untuk dapat memalingkannya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Malaikat maut alaihi as-Salam adalah malaikat yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa.
Hadits dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu di atas juga menerangkan tentang nama Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa setiap orang yang telah ditentukan kematian atasnya dengan nama Malaikat maut Alaihim as-Salam. Hal inipun sebagaimana telah disebutkan di dalam ayat berikut ini,
قُلْ يَتَوَفَّاكُم مَّلَكُ اْلمـَوْتِ الَّذِى وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi tugas untuk (mencabut
nyawa)mu akan mematikanmu. Kemudian hanya kepada Rabbmulah, kamu akan
dikembalikan.” [QS. As-Sajadah : 11].
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ini (yaitu Malaikat maut) adalah merupakan namanya di dalam alqur’an dan sunnah. Adapun penamaan malaikat Izrail itu tidak ada asalnya, (hal ini jelas) berbeda dengan apa yang telah mahsyur (terkenal) di sisi manusia. Barangkali nama tersebut adalah termasuk dari cerita israilliyat”. [18]
Kedatangan Malaikat maut ini diawali dengan datangnya beberapa malaikat yang menyertainya, apakah para malaikat yang berwajah putih bersinar laksana mentari, yang pada tangan mereka ada kain kafan dari kain kafan surga dan balsem dari balsem surga. Ataukah para malaikat yang berwajah hitam kelam, yang keras lagi bengis yang pada tangan mereka ada semacam karung goni dari neraka. Manakah di antara dua golongan malaikat itu yang datang?, maka itu menunjukkan keadaan orang yang hendak mati. Jika yang datang itu adalah golongan malaikat yang pertama maka yang hendak meninggal dunia itu adalah termasuk orang mukmin yang gemar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, yang kelak akan menempati surga dan meraih keridloan-Nya. Namun jika yang datang itu golongan malaikat yang kedua maka niscaya yang akan meninggal dunia itu adalah orang kafir atau munafik yang kerap berbuat dosa, yang kelak akan menempati neraka dan mendapatkan kemurkaan-Nya.
حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَكُمُ اْلمـَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَ هُمْ لَا يُفَرِّطُونَ
Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu,
ia diwafatkan oleh para utusan Kami (yaitu para Malaikat), dan
utusan-utusan Kami itu tidak pernah melalaikan kewajibannya.
[QS.
Al-An’am : 61].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((ia diwafatkan oleh utusan-utusan Kami)) yaitu Malaikat maut dan kawan-kawannya”. [19]
Demikian sekilas penjelasan tentang kematian yang pasti akan datang menghampiri setiap makhluk hidup, khususnya umat manusia. Kaum pria ataupun para wanita, para penguasa ataupun rakyat jelata, kaum berpendidikan ataupun kaum yang terhimpit kebodohan, para ulama ataupun kaum awamnya, golongan mukminin ataupun kaum munafikin dan kafirin, dan selainnya. Semuanya mereka pasti akan didatangi oleh maut tanpa terkecuali dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai umat Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang-orang yang siap menghadapi kematian dengan keimanan dan amal-amal shalih dan meninggalkan dunia yang fana ini dengan husnul khatimah.
[4] Aysar at-Tafasir: II/ 93.
[5] Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 7175.
[6] Bahjah an-Nazhirin: II/ 168.
[7] Mukhtashor Shahih Muslim: 1664 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1267.
[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 167.
[9] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1931 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1632.
[10] Shahih
Sunan Abi Dawud: 2670, Mukhtashor Shahih Muslim: 455, Shahih Sunan Ibni
Majah: 3360, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7792 dan Ahkam al-Jana’iz
halaman 11.
[11] Shahih
Sunan at-Turmudziy: 785, Shahih Sunan Ibni Majah: 3436, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1051, Misykah al-Mashobih: 1612 dan Ahkam
al-Jana’iz halaman 11.
[12] Talkin
itu bukan membacakan surat Yasin atau sejenisnya. Dari sebab itu
pembacaan surat Yasin kepada orang yang sedang datang tanda-tanda
kematiannya atau sesudahnya itu adalah perkara muhdats (yang baru
diada-adakan) atau termasuk perkara bid’ah. (lihat Ahkam al-Jana’iz
halaman 20 dan Mu’jam al-Bida’ halaman 533). Apalagi riwayat yang
menyuruh membacakan surat Yasin untuk orang yang mendekati ajal adalah hadits dla’if (lemah),
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 1488, Ahmad: V/ 26, 27, Abu
Dawud: 3121, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar. [Lihat
Dla’if Sunan Ibni Majah: 308, Dla’if Sunan Abi Dawud: 683, Dla’if
al-Jami’ ash-Shaghir: 1071, Misykah al-Mashobih: 1622 dan Irwa’
al-Ghalil: 688].
[13] Ajakan
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap pamannya itu dikeluarkan
oleh al-Bukhoriy: 1360, 3884, 4675, 4772, 6881, Muslim: 34 dan Ahmad:
II/ 343, 441 dari al-Musayyab. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di
dalam Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 680 dan Mukhtashor Shahiih
Muslim: 3. Adapun ajakan Beliau terhadap anak Yahudi dikeluarkan oleh
al-Bukhoriy: 1356, 5657, al-Hakim dan Ahmad: III/ 175, 227, 260, 280
dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam
Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 676 dan Ahkam al-Jana’iz halaman
21.
[14]
Mukhtashor Shahih Muslim: 453, Shahih Sunan Abi Dawud: 2674, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 781, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1722, Shahih Sunan
Ibni Majah: 1185, 1186, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5148, Irwa’
al-Ghalil: 686 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 19.
[15] Shahih
Sunan Abi Dawud: 2673, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6471, Misykah
al-Mashobih: 1621, Ahkam al-Jana’iz halaman 48 dan Irwa’ al-Ghalil: 687.
[16] Mukhtashor Shahih Muslim: 1304 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1659.
[17] Bahjah an-Nazhirin: I/ 246.
[18] Ahkam al-Jana’iz halaman 199.
[19] Aysar at-Tafasir: II/ 71.[agoezta]
Setiap (minuman) Yang Memabukkan itu Khamr, dan Setiap Khamr itu Haram.
Kita berkali-kali di gemparkan dengan
berita tentang kematian setelah mengikuti pesta pernikahan maupun
hajatan dimana disisipi dengan kegiatan minum-minuman keras.
Tidak tanggung-tanggung, kematian ini disebabkan karena tuak di campur dengan obat kuat atau yg biasa disebut “Minuman Oplosan.”
Kematian dalam keadaan bermaksiat & sangat di murkai oleh Allah Ta’ala.. Naudzubillahi.
Berikut ini hukum islam tentang minuman keras, semoga anda yg telah membacanya, sadar.. se sadar-sadarnya ;
Tidak tanggung-tanggung, kematian ini disebabkan karena tuak di campur dengan obat kuat atau yg biasa disebut “Minuman Oplosan.”
Kematian dalam keadaan bermaksiat & sangat di murkai oleh Allah Ta’ala.. Naudzubillahi.
Berikut ini hukum islam tentang minuman keras, semoga anda yg telah membacanya, sadar.. se sadar-sadarnya ;
1. Larangan Minum Khamr
Pada mulanya khamr adalah minuman keras
yang terbuat dari kurma dan anggur. Tetapi karena dilarangnya itu sebab
memabukkan, maka minuman yang terbuat dari bahan apasaja (walaupun bukan
dari kurma atau anggur) asal itu memabukkan, maka hukumnya sama dengan
khamr, yaitu haram diminum.
Larangan minum khamr, diturunkan secara
berangsur-angsur. Sebab minum khamr itu bagi orang Arab sudah menjadi
adat kebiasaan yang mendarah daging semenjak zaman jahiliyah. Mula-mula
dikatakan bahwa dosanya lebih besar daripada manfaatnya, kemudian orang
yang mabuk tidak boleh mengerjakan shalat, dan yang terakhir dikatakan
bahwa minum khamr itu adalah keji dan termasuk perbuatan syetan. Oleh
sebab itu hendaklah orang-orang yang beriman berhenti dari minum khamr.
Begitulah, akhirnya Allah mengharamkan
minum khamr secara tegas. Adapun firman Allah yang pertama kali turun
tentang khamr adalah :
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ اْلخَمْرِ
وَ اْلمَيْسِرِ، قُلْ فِيْهِمَا اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّ مَنَافِعُ لِلنَّاسِ،
وَ اِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا، وَ يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا
يُنْفِقُوْنَ، قُلِ اْلعَفْوَ، كَذلِكَ يُـبَـيّنُ اللهُ لَكُمُ اْلايتِ
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ. البقرة:219
Mereka bertanya kepadamu tentang
khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafqahkan.
Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berfikir. [QS. Al-Baqarah : 219]
Di dalam hadits riwayat Ahmad dari Abu
Hurairah diterangkan sebab turunnya ayat tersebut sebagai berikut :
Ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, didapatinya orang-orang minum
khamr dan berjudi (sebab hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka sejak dari nenek moyang mereka).
Lalu para shahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukumnya,
maka turunlah ayat tersebut. Mereka memahami dari ayat tersebut bahwa
minum khamr dan berjudi itu tidak diharamkan, tetapi hanya dikatakan
bahwa pada keduanya terdapat dosa yang besar, sehingga mereka
masih terus minum khamr. Ketika waktu shalat Maghrib, tampillah seorang
Muhajirin menjadi imam, lalu dalam shalat tersebut bacaannya banyak yang
salah, karena sedang mabuk setelah minum khamr. Maka turunlah firman
Allah yang lebih keras dari sebelumnya, yaitu :
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلوةَ وَ اَنْتُمْ سُكرى حَتّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ. النساء:43
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendekati shalat padahal kamu sedang mabuk sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan. [An-Nisaa' : 43]
Kemudian orang-orang masih tetap minum
khamr, sehingga mereka mengerjakan shalat apabila sudah sadar dari
mabuknya. Kemudian diturunkan ayat yang lebih tegas lagi dari ayat yang
terdahulu :
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْآ
اِنَّمَا اْلخَمْرُ وَ اْلمَيْسِرُ وَ اْلاَنْصَابُ وَ اْلاَزْلاَمُ رِجْسٌ
مّنْ عَمَلِ الشَّيْطنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ اْلعَدَاوَةَ وَ
اْلبَغْضَآءَ فِى اْلخَمْرِ وَ اْلمَيْسِرِ وَ يَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ
اللهِ وَ عَنِ الصَّلوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ. المائدة:90-91
Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). [QS. Al-Maidah : 90-91]
Setelah turun ayat yang sangat tegas ini, mereka berkata, “Ya Tuhan kami, kami berhenti (dari minum khamr dan berjudi)”. [HR. Ahmad]
Dari ayat-ayat diatas, sudah jelas bahwa
Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan khamr dengan pengharaman yang
tegas. Dan bahkan peminumnya dikenai hukuman had. Rasulullah SAW
menghukum peminum khamr dengan 40 kali dera, sedangkan Khalifah Umar bin
Khaththab dimasa kekhalifahannya menetapkan hukuman dera 80 kali bagi
peminum khamr, setelah bermusyawarah dengan para shahabat lainnya, yang
Isnya Allah hadits-haditsnya akan kami sampaikan di belakang nanti.
Adapun hadits-hadits tentang haramnya khamr diantaranya sebagai berikut :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مُدْمِنُ اْلخَمْرِ كَعَابِدِ وَثَنٍ. ابن ماجه
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Peminum khamr itu bagaikan penyembah berhala”. [HR. Ibnu Majah]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
نَزَلَ فِى اْلخَمْرِ ثَلاَثُ ايَاتٍ، فَاَوَّلُ شَيْءٍ نَزَلَتْ
<يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلخَمْرِ وَ اْلمَيْسِرِ> اْلآيَةَ. فَقِيْلَ:
حُرِّمَتِ اْلخَمْرُ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، نَنْتَفِعُ بِهَا
كَمَا قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ. فَسَكَتَ عَنْهُمْ ثُمَّ اُنْزِلَتْ
هذِهِ اْلآيَةُ <لاَ تَقْرَبُوا الصَّلوةَ وَ اَنْتُمْ سُكرى>
فَقِيْلَ: حُرِّمَتِ اْلخَمْرُ بِعَيْنِهَا. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، اِنَّا لاَ نَشْرَبُهَا قُرْبَ الصَّلاَةِ، فَسَكَتَ عَنْهُمْ،
ثُمَّ نَزَلَتْ <ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اِنَّمَا اْلخَمْرُ وَ
اْلمَيْسِرُ وَ اْلاَنْصَابُ وَ اْلاَزْلاَمُ رِجْسٌ مّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ> الآية. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: حُرِّمَتِ اْلخَمْرُ.
ابو داود الطياليسى فى مسنده
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata : Ada
tiga ayat yang turun tentang khamr, yaitu pertama yang artinya (Mereka
akan bertanya kepadamu tentang khamr dan judi ….. dst). Lalu dikatakan
(oleh orang-orang) bahwa khamr telah diharamkan. Kemudian ditanyakan,
“Ya Rasulullah, bolehkah kami memanfaatkannya sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla ?”. Nabi SAW terdiam dari
pertanyaan mereka, kemudian turunlah ayat (Jangan kamu mendekati shalat
padahal kamu sedang mabuk). Lalu dikatakan (oleh orang-orang), “Khamr
betul-betul telah diharamkan”. Lalu mereka (para shahabat) bertanya, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami tidak meminumnya menjelang shalat”. Nabi
SAW terdiam dari mereka, kemudian turunlah ayat (Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya khamr, judi sembelihan untuk berhala, dan mengundi
nasib itu tidak lain (dari perkara) kotor dari perbuatan syaithan….
dst). Ibnu Umar berkata, Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Khamr itu telah
diharamkan”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi, di dalam musnadnya].
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: صَنَعَ
لَنَا عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا فَدَعَانَا وَ سَقَانَا مِنَ
اْلخَمْرِ، فَاَخَذَتِ اْلخَمْرُ مِنَّا، وَ قَدْ حَضَرَتِ الصَّلاَةُ
فَقَدَّمُوْنِى فَقَرَأْتُ <قُلْ ياَيُّهَا اْلكفِرُوْنَ، لاَ اَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُوْنَ، وَ نَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ، قَالَ: فَاَنْزَلَ
اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ <ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَقْرَبُوا
الصَّلوةَ وَ اَنْتُمْ سُكرى حَتّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ. الترمذى و
صححه
Dari Ali, ia berkata : ‘Abdurrahman
bin ‘Auf pernah membuat makanan untuk kami, lalu ia mengundang kami dan
menuangkan khamr untuk kami, lalu diantara kami ada yang mabuk, padahal
(ketika itu) waktu shalat telah tiba, lalu mereka menunjukku menjadi
imam, lalu aku baca Qul yaa-ayyuhal kaafiruun, laa a’budu maa ta’buduun, wa nahnu na’budu maa ta’buduun
(Katakanlah : Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu
sembah, dan kami menyembah apa yang kamu sembah)”. Ali berkata, “Lalu
Allah menurunkan firman-Nya Yaa ayyuhalladziina aamanuu, laa taqrobushsholaata wa antum sukaaroo hattaa ta’lamuu maa taquuluun.
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, padahal
kamu (sedang) mabuk, hingga kamu mengerti apa yang kamu katakan)”. [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya]
عَنْ اِبِى سَعِيْدٍ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنَّ اللهَ
اَبْغَضَ اْلخَمْرَ، وَ لَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيْهَا اَمْرًا، فَمَنْ
كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَ لْيَنْتَفِعْ بِهِ، قَالَ:
فَمَا لَبِثْنَا اِلاَّ يَسِيْرًا حَتَّى قَالَ ص: اِنَّ اللهَ حَرَّمَ
اْلخَمْرَ، فَمَنْ اَدْرَكَتْهُ هذِهِ اْلآيَةُ وَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ
فَلاَ يَشْرَبُ وَ لاَ يَبِيْعُ، قَالَ: فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا
كَانَ عِنْدَهُمْ مِنْهَا طُرُقُ اْلمَدِيْنَةِ فَسَفَكُوْهَا. مسلم
Dari Abu Sa’id, ia berkata : Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya Allah
membenci khamr, dan mudah-mudahan Ia akan menurunkan suatu ketentuan
padanya. Oleh karena itu barangsiapa masih mempunyai sedikit dari
padanya, maka hendaklah ia menjualnya dan memanfaatkannya”. Abu Sa’id
berkata : Maka tidak lama kemudian Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah (telah) mengharamkan khamr, maka barangsiapa sampai
kepadanya ayat ini [QS. Al-Maidah : 90], padahal ia masih mempunyai
sedikit dari padanya, maka ia tidak boleh meminumnya, dan tidak boleh
menjualnya”. Abu Sa’id berkata, “Lalu orang-orang sama pergi menuju ke
jalan-jalan Madinah sambil membawa sisa khamr yang ada pada mereka, lalu
mereka menuangkannya”. [HR. Muslim]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: كُنْتُ
اَسْقِى اَبَا عُبَيْدَةَ وَ اُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ مِنْ فَضِيْخِ زَهْوٍ وَ
تَمْرٍ، فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: اِنَّ اْلخَمْرَ حُرِّمَتْ. فَقَالَ
اَبُوْ طَلْحَةَ: قُمْ يَا اَنَسُ فَاَهْرِقْهَا، فَاَهْرَقْـتُهَا. احمد و
البخارى و مسلم
Dari Anas, ia berkata : Saya pernah
menuangkan (minuman) kepada Abu ‘Ubaidah dan Ubay bin Ka’ab, (yang
dibikin) dari perasan kurma segar dan kurma kering, lalu ada seseorang
datang kepada mereka, kemudian berkata, “Sesungguhnya khamr telah
diharamkan”. Lalu Abu Thalhah berkata, “Berdirilah hai Anas, lalu
buanglah”. Kemudian saya pun menuangkan (membuang) minuman tersebut”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
2. Segala Yang Memabukkan Hukumnya Haram
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِيِّ ص قَالَ: َاْلخَمْرُ مِنْ هَاتَيْنِ الشَّجَرَتَيْنِ:
النَّخْلَةِ وَ اْلعِنَبَةِ. الجماعة الا الترمذى
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Khamr itu (dibuat) dari dua pohon ini : kurma dan anggur”. [HR. Jama'ah, kecuali Tirmidzi]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: اِنَّ اْلخَمْرَ حُرِّمَتْ وَ اْلخَمْرُ يَوْمَئِذٍ اْلبُسْرُ وَ التَّمْرُ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Anas, ia berkata, “Sesungguhnya
khamr itu (telah) diharamkan, dan pada saat itu khamr (dibuat dari)
kurma segar dan kurma kering”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ عُمَرَ
قَالَ عَلَى مِنْبَرِ النَّبِيِّ ص: اَمَّا بَعْدُ، اَيُّهَا النَّاسُ،
اِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيْمُ اْلخَمْرِ وَ هِيَ مِنْ خَمْسَةٍ: مِنَ
اْلعِنَبِ وَ التَّمْرِ وَ اْلعَسَلِ وَ اْلحِنْطَةِ وَ الشَّعِيْرِ وَ
اْلخَمْرِ مَا خَامَرَ اْلعَقْلَ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ibnu ‘Umar, bahwa ‘Umar RA
berkata (berkhutbah) di mimbar Nabi SAW, “Amma ba’du, hai manusia,
sesungguhnya telah turun ketetapan haramnya khamr, dan khamr itu
(terdiri) dari lima macam, yaitu dari anggur, kurma kering, madu gandum, sya’ir (gandum Belanda), dan khamr itu suatu minuman yang menutupi akal”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ
بَشِيْرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ مِنَ اْلحِنْطَةِ خَمْرًا،
وَ مِنَ الشَّعِيْرِ خَمْرًا، وَ مِنَ الزَّبِيْبِ خَمْرًا، وَ مِنَ
التَّمْرِ خَمْرًا، وَ مِنَ اْلعَسَلِ خَمْرًا. الخمسة الا النسائى
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya khamr itu (ada yang dibuat) dari
gandum, ada yang dari sya’ir, ada yang dari kismis (anggur kering), ada
yang dari kurma, dan ada (pula) yang dari madu”. [HR. Khamsah, kecuali Nasai]
زاد احمد و ابو داود: وَ اَنَا اَنْهَى عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ.
Imam Ahmad dan Abu Dawud menambah : Rasulullah SAW bersabda, “Dan aku melarang segala minuman yang memabukkan”.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. الجماعة الا البخارى و ابن ماجه
Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi SAW
pernah bersabda, “Setiap (minuman) yang memabukkan itu khamr, dan setiap
(minuman) yang memabukkan itu haram”. [HR. Jama'ah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah]
و فى لفظ: كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ. مسلم و الدارقطنى
Dan dalam lafadh yang lain (dikatakan), “Setiap (minuman) yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram”. [HR. Muslim dan Daruquthni]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ
رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلبِتْعِ وَ هُوَ نَبِيْذُ اْلعَسَلِ. وَ كَانَ
اَهْلُ اْليَمَنِ يَشْرَبُوْنَهُ، فَقَالَ ص: كُلُّ شَرَابٍ اَسْكَرَ
فَهُوَ حَرَامٌ. احمد و البخارى و مسلم
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang bit’i, yaitu minuman keras yang terbuat dari
madu, dan penduduk Yaman biasa meminumnya. Lalu Nabi SAW menjawab,
“Setiap minuman yang memabukkan, maka minuman itu haram”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ اَبِى مُوْسَى قَالَ:
قُالْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ص اَفْطِنَا فِى شَرَابَيْنِ كُنَّا
نَصْنَعُهُمَا بِاْليَمَنِ. اَلْبِتْعُ وَ هُوَ مِنَ اْلعَسَلِ يُنْبَذُ
حَتَّى يَشْتَدَّ، وَ اْلمِزْرُ وَ هُوَ مِنَ الذُّرَّةِ وَ الشَّعِيْرِ
يُنْبَذُ حَتَّى يَشْتَدَّ، قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص قَدْ اُعْطِيَ
جَوَامِعَ اْلكَلِمِ بِخَوَاتِمِهِ،فَقَالَ: كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. احمد و
البخارى و مسلم
Dari Abu Musa RA, ia berkata : Saya
berkata, “Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang dua minuman yang
biasa kami membuatnya di Yaman, yaitu bit’i, minuman dari madu yang
dilarutkan (dibiarkan) sehingga menjadi keras dan mizr, minuman dari
gandum dan sya’ir yang dilarutkan sehingga menjadi keras. Abu Musa
berkata : Lalu Rasulullah SAW memberi jawaban singkat yang mencakup,
pada akhir-akhir jawabannya. Beliau bersabda, “Setiap minuman yang
memabukkan itu haram”. [HR Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: كُلُّ مُخَمِّرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. ابو داود
Dari Ibnu ‘Abbas RA, dari Nabi SAW,
beliau bersabda, “Setiap minuman yang menutupi (akal) itu khamr, dan
setiap minuman yang memabukkan itu haram”. [HR. Abu Dawud]
3. Minum khamr walaupun sedikit, hukumnya tetap haram
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: مَا اَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ. احمد و ابن ماجه و الدارقطنى و صححه
Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Minuman yang dalam jumlah banyak memabukkan, maka sedikitpun juga haram”. [HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Daruquthni, dan dia menshahihkannya]
وَ ِلاَبِى دَاوُدَ وَ ابْنِ مَاجَهْ وَ التِّرْمِذِيِّ مِثْلُهُ سَوَاءٌ مِنْ حَدِيْثِ جَابِرٍ.
Dan Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi meriwayatkan seperti itu dari Jabir.
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِى وَقَّاصٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص نَهَى عَنْ قَلِيْلِ مَا اَسْكَرَ كَثِيْرُهُ. النسائى و الدارقطنى
Dari Sa’ad bin Abu Waqqash, bahwa
Nabi SAW melarang meminum meskipun sedikit dari minuman yang (dalam
kadar) banyaknya memabukkan”. [HR. Nasai dan Daruquthni]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ
عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَتَاهُ قَوْمٌ فَقَالُوْا:
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا نَنْبُذُ النَّبِيْذَ فَنَشْرَبُهُ عَلَى
غَدَائِنَا وَ عَشَائِنَا، فَقَالَ: اِشْرَبُوْا فَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ،
فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا نَكْسِرُهُ بِاْلمَاءِ، فَقَالَ:
حَرَامٌ قَلِيْلُ مَا اَسْكَرَ كَثِيْرُهُ. الدارقطنى
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya,
dari datuknya, bahwa Nabi SAW didatangi suatu qaum, lalu mereka berkata,
“Ya Rasulullah, sesungguhnya kami (biasa) membuat minuman keras, lalu
kami meminumnya di pagi dan sore hari. Lalu Nabi SAW bersabda,
“Minumlah, tetapi setiap minuman yang memabukkan itu haram”. Kemudian
mereka berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mencampurnya dengan
air”. Nabi SAW menjawab, “Haram (walaupun) sedikit dari minuman yang
(dalam kadar) banyaknya memabukkan”. [HR. Daruquthni]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَ مَا اَسْكَرَ اْلفَرَقُ
مِنْهُ فَمِلْءُ اْلكَفِّ مِنْهُ حَرَامٌ. احمد و ابو داود و الترمذى و
قال حديث حسن
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan
minuman yang dalam jumlah banyaknya memabukkan, maka segenggam darinya
pun haram”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dan Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan"]
4. Ada segolongan orang yang merubah nama khamr dengan nama yang lain sehingga mereka menganggap halal dan meminumnya.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَتَسْتَحِلَّنَّ طَائِفَةٌ مِنْ اُمَّتِى
اْلخَمْرَ بِاسْمٍ يُسَمُّوْنَهَا اِيَّاهُ. احمد
Dari ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh akan ada segolongan dari ummatku yang
menghalalkan khamr dengan menggunakan nama lain”. [HR. Ahmad]
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ
بِاسْمٍ يُسَمُّوْنَهَا اِيَّاهُ. ابن ماجه
Dari ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh akan ada segolongan dari ummatku yang
meminum khamr dengan menamakannya dengan nama lain”. [HR. Ibnu Majah]
عَنْ اَبِى اُمَامَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ تَذْهَبُ اللَّيَالِى وَ اْلاَيَّامُ حَتَّى
تَشْرَبَ طَائِفَةٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ وَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ
اسْمِهَا. ابن ماجه
Dari Abu Umamah RA, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak lewat beberapa malam dan hari (Tidak
lama sepeninggalku) sehingga segolongan dari ummatku minum khamr dengan
memberi nama yang bukan namanya”. [HR. Ibnu Majah]
عَنِ ابْنِ مُحَيْرِيْزٍ عَنْ
رَجُلٍ مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: يَشْرَبُ
نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ وَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا.
النسائى
Dari Ibnu Muhairiz dari salah seorang
shahabat Nabi SAW beliau bersabda, “(Akan) ada sekelompok manusia dari
ummatku yang minum khamr, dan mereka menamakannya dengan nama lain”. [HR. Nasai]
عَنْ اَبِى مَالِكٍ
اْلاَشْعَرِيِّ اَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: لَيَشْرَبَنَّ
اُنَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ وَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا.
احمد و ابو داود
Dari Abu Malik Al-Asy’ariy, bahwa ia
mendengar Nabi SAW bersabda, “Sungguh akan ada sekelompok manusia dari
ummatku yang minum khamr, dan mereka menamakannya dengan nama lain”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
5. Khamr yang telah diharamkan oleh Allah tidak boleh dijual ataupun dihadiahkan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
كَانَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص صَدِيْقٌ مِنْ ثَقِيْفٍ وَ دَوْسٍ فَلَقِيَهُ
يَوْمَ اْلفَتْحِ بِرَاحِلَةٍ اَوْ رَاوِيَةٍ مِنْ خَمْرٍ يُهْدِيْهَا
اِلَيْهِ فَقَالَ: يَا فُلاَنُ اَمَا عَلِمْتَ اَنَّ اللهَ حَرَّمَهَا؟
فَاَقْبَلَ الرَّجُلُ عَلَى غُلاَمِهِ فَقَالَ: اِذْهَبْ فَبِعْهَا.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِنَّ الَّذِيْ حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ
بَيْعَهَا، فَاَمَرَ بِهَا فَاُفْرِغَتْ فِى اْلبَطْحَاءِ. احمد و مسلم و
النسائى
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata :
Rasulullah SAW pernah mempunyai seorang kawan dari Tsaqif dan Daus, lalu
ia menemui beliau pada hari penaklukan kota Makkah dengan
membawa satu angkatan atau seguci khamr untuk dihadiahkan kepada
beliau, lalu Nabi SAW bersabda, “Ya Fulan, apakah engkau tidak tahu
bahwa Allah telah mengharamkannya ?”. Lalu orang tersebut memandang
pelayannya sambil berkata, “Pergi dan juallah khamr itu”. Lalu
Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya minuman yang telah diharamkan
meminumnya, juga diharamkan menjualnya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh
(agar ia membuang)nya, lalu khamr itu pun dibuang dibathha’. [HR. Ahmad, Muslim dan Nasai]
و فى رواية لاحمد اَنَّ رَجُلاً خَرَجَ وَ اْلخَمْرُ حَلاَلٌ فَاَهْدَى لِرَسُوْلِ اللهِ ص رَاوِيَةَ خَمْرٍ. وَ ذَكَرَ نَحْوَهُ.
Dan dalam satu riwayat bagi Ahmad,
dinyatakan bahwa ada seorang laki-laki keluar, sedang khamr pada saat
itu masih dihalalkan, lalu ia menghadiahkan kepada Rasulullah SAW seguci
khamr. (Selanjutnya ia menuturkan seperti hadits tersebut diatas).
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّ
رَجُلاً كَانَ يُهْدِى لِلنَّبِيِّ ص رَاوِيَةَ خَمْرٍ، فَاَهْدَاهَا
اِلَيْهِ عَامًا وَ قَدْ حُرِّمَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِنَّهَا قَدْ
حُرِّمَتْ. فَقَالَ الرَّجُلُ: اَفَلاَ اَبِيْعُهَا؟ فَقَالَ: اِنَّ
الَّذِى حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا. قَالَ:اَفَلاَ اُكَارِمُ
بِهَا اْليَهُوْدَ؟ قَالَ: اِنَّ الَّذِى حَرَّمَهَا حَرَّمَ اَنْ
يُكَارَمَ بِهَا اْليَهُوْدُ. قَالَ: فَكَيْفَ اَصْنَعُ بِهَا؟ قَالَ:
شِنَّهَا عَلَى اْلبَطْحَاءِ. الحميدى فى مسنده فى نيل الاوطار 8: 191
Dari Abu Hurairah RA, bahwa pernah
ada seorang laki-laki menghadiahkan kepada Rasulullah SAW seguci khamr,
ia menghadiahkannya kepada beliau pada tahun diharamkannya khamr, lalu
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan”. Lalu orang itu
bertanya, “Apa tidak boleh aku menjualnya ?”. Jawab Nabi SAW,
“Sesungguhnya minuman yang diharamkan meminumnya, juga diharamkan
menjualnya”. Orang itu bertanya (lagi), “Apakah tidak boleh aku
pergunakan untuk mengungguli kedermawanan orang Yahudi ?”. Nabi SAW
menjawab, “Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, maka haram (pula) untuk
dipergunakan mengungguli kedermawanan orang Yahudi”. Orang itu bertanya
(lagi), “Lalu harus aku gunakan untuk apa ?”. Nabi SAW bersabda,
“Tuangkan saja di Bathha’ “. [HR. Al-Humaidi di dalam musnadnya - dalam Nailul Authar juz 8, hal 191]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: لَعَنَ
رَسُوْلُ اللهِ ص فِى اْلخَمْرِ عَشْرَةً: عَاصِرَهَا وَ مُعْتَصِرَهَا وَ
شَارِبَهَا وَ حَامِلَهَا وَ اْلمَحْمُوْلَةَ اِلَيْهِ وَ سَاقِيَهَا وَ
بَائِعَهَا وَ آكِلَ ثَمَنِهَا وَ اْلمُشْتَرِيَ لَهَا وَ اْلمُشْتَرَاةَ
لَهُ. الترمذى و ابن ماجه فى نيل الاوطار 5: 174
Dari Anas ia berkata, “Rasulullah SAW
melaknat tentang khamr sepuluh golongan : 1. yang memerasnya, 2.
pemiliknya (produsennya), 3. yang meminumnya, 4. yang membawanya
(pengedar), 5. yang minta diantarinya, 6. yang menuangkannya, 7. yang
menjualnya, 8. yang makan harganya, 9. yang membelinya, 10. yang minta
dibelikannya”. [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah - dalam Nailul Authar juz 5 hal. 174]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
لُعِنَتِ اْلخَمْرَةُ عَلَى عَشْرَةِ وُجُوْهٍ: لُعِنَتِ اْلخَمْرَةُ
بِعَيْنِهَا وَ شَارِبِهَا وَ سَاقِيَهَا وَ بَائِعِهَا وَ مُبْتَاعِهَا وَ
عَاصِرِهَا وَ مُعْتَصِرِهَا وَ حَامِلِهَا وَ اْلمَحْمُوْلَةِ اِلَيْهِ
وَ آكِلِ ثَمَنِهَا. احمد و ابن ماجه فى نيل الاوطار 5: 174
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata, “Telah
dilaknat khamr atas sepuluh hal : 1. khamr itu sendiri, 2. peminumnya,
3. yang menuangkannya, 4. penjualnya, 5. pembelinya, 6. yang memerasnya,
7. pemilik (produsennya), 8. yang membawanya, 9. yang minta
diantarinya, 10. yang memakan harganya”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah - dalam Nailul Authar juz 5 hal. 174]
6. Khamr tidak boleh dijadikan cuka.
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص سُئِلَ عَنِ اْلخَمْرِ يُتَّخَذُ خَلاًّ فَقَالَ: لاَ. احمد و مسلم و ابو داود و الترمذى و صححه
Dari Anas, bahwa Nabi SAW ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka, lalu beliau menjawab, “Tidak boleh”. [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia menshahihkannya]
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ اَبَا
طُلْحَةَ سَأَلَ النَّبِيَّ عَنْ اَيْتَامٍ وَرِثُوْا خَمْرًا، قَالَ:
اَهْرِقْهَا. قَالَ: اَفَلاَ نَجْعَلُهَا خَلاًّ؟ قَالَ: لاَ. احمد و ابو
داود
Dari Anas, bahwa Abu Thalhah bertanya
kepada Nabi SAW tentang beberapa anak yatim yang mewarisi khamr, beliau
SAW menjawab, “Tuangkanlah !”. (Abu Thalhah) bertanya, “Apakah tidak
boleh kami jadikan cuka ?”. Jawab beliau, “Tidak”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ يَتِيْمًا
كَانَ فِى حِجْرِ اَبِى طَلْحَةَ فَاشْتَرَى لَهُ خَمْرًا. فَلَمَّا
حُرِّمَتْ سُئِلَ النَّبِيُّ ص: اَتُتَّخَذُ خَلاً؟ قَالَ: لاَ. احمد و
الدارقطنى
Dari Anas bahwa seorang anak yatim
berada (dalam asuhan) Abu Thalhah, lalu ia (Abu Thalhah) membelikan
khamr untuknya. Ketika khamr telah diharamkan, Nabi SAW ditanya,
“Bolehkah khamr itu dijadikan cuka ?”. Nabi SAW menjawab, “Tidak”. [HR. Ahmad, dan Daruquthni]
7. Boleh minum perasan kurma atau anggur selama tidak menjadi khamr (belum rusak).
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ:
كُنَّا نَنْبُذُ لِرَسُوْلِ اللهِ ص فِى سَقَاءٍ فَنَأْخُذُ قَبْضَةً مِنْ
تَمْرٍ وَ قَبْضَةً مِنْ زَبِيْبٍ فَنَطْرَحُهُمَا، ثُمَّ نَصُبُّ
عَلَيْهِ اْلمَاءَ فَنَنْبُذُهُ غُدْوَةَ فَيَشْرَبُهُ عَشِيَّةً وَ
نَنْبُذُهُ عَشِيَّةً فَيَشْرَبُهُ غُدْوَةً. ابن ماجه
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Kami
pernah membuatkan minuman Rasulullah SAW dalam suatu wadah, kami
mengambil segenggam kurma dan segenggam anggur lalu kami tuangkan air.
Kami membuatnya pada pagi hari kemudian diminum pada sore hari dan
(jika) kami membuatnya pada sore hari lalu diminum pada pagi hari. [HR. Ibnu Majah]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ:
كُنَّا نَنْبُذُ لِرَسُوْلِ اللهِ ص سَقَاءٍ يُوْكَى اَعْلاَهُ وَ لَهُ
عَزْلاَءُ نَنْبُذُهُ غُذْوَةً فَيَشْرَبُهُ عَشِيًّا وَ نَنْبُذُهُ
عَشِيًّا فَيَشْرَبُهُ غُذْوَةً. احمد و مسلم و ابو داود و الترمذى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Kami
(biasa) membuat minuman untuk Rasulullah SAW di wadah (minuman) yang
tertutup (bagian) atasnya dan mempunyai pelepas (untuk membuka). Kami
membuatnya di pagi hari lalu beliau (Nabi SAW) meminumnya di sore hari
dan (jika) kami membuat di sore hari maka (Nabi SAW) meminumnya di pagi
hari”. [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُنْبَذُ لَهُ اَوَّلَ اللَّيْلِ فَيَشْرَبُهُ
اِذَا اَصْبَحَ يَوْمَهُ ذلِكَ وَ اللَّيْلَةَ الَّتِى تَجِيْءُ وَ اْلغَدَ
وَ اللَّيْلَةَ اْلاُخْرَى وَ اْلغَدَ اِلَى اْلعَصْرِ، فَاِذَا بَقِيَ
شَيْءٌ سَقَاهُ اْلخَدَّامَ اَوْ اَمَرَ بِهِ فَصَبَّ. احمد و مسلم
Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata,
“Adalah Rasulullah SAW dibuatkan minuman pada malam (hari yang) pertama,
lalu beliau meminumnya ketika pagi harinya, dan malam berikutnya dan
pagi harinya (hari kedua), dan malam berikutnya lagi serta pagi harinya
sampai waktu ‘ashar (hari ketiga). Lalu apabila masih ada sisanya
diberikan kepada pelayan atau beliau menyuruh (membuangnya), lalu
dibuang”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية: كَانَ يُنْقَعُ
لَهُ اْلزَبِيْبُ فَيَشْرَبُهُ اْليَوْمَ وَ اْلغَدَ وَ بَعْدَ اْلغَدِ
اِلَى مَسَاءِ الثَّالِثَةِ، ثُمَّ يَأْمُرُ بِهِ فَيُسْقَى اْلخَادِمَ
اَوْ يُهْرَاقُ. احمد و مسلم و ابو داود
Dan dalam lafadh lain dikatakan,
“Suatu ketika dipersiapkan untuk (Rasulullah SAW minuman) anggur, lalu
beliau meminumnya hari itu, esok paginya dan lusa, sampai sore hari
ketiga, kemudian beliau menyuruh diberikan kepada pelayan atau dibuang”. [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud]
8. Hukuman Peminum Khamr
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص
اُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اْلخَمْرَ فَجُلِدَ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ
اَرْبَعِيْنَ، قَالَ: وَ فَعَلَهُ اَبُوْ بَكْرٍ. فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ
اسْتَشَارَ النَّاسَ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَوْفٍ: اَخَفُّ
اْلحُدُوْدِ ثَمَانِيْنَ فَاَمَرَ بِهِ عُمَرُ. احمد و مسلم و ابو داود و
الترمذى و صححه
Dari Anas RA, sesungguhnya Nabi SAW pernah dihadapkan kepada beliau seorang laki-laki yang telah minum khamr.
Lalu orang tersebut dipukul dengan dua pelepah kurma (pemukul) sebanyak
40 kali. Anas berkata, “Cara seperti itu dilakukan juga oleh Abu
Bakar”. Tetapi (di zaman ‘Umar) setelah ‘Umar minta pendapat para
shahabat yang lain, maka ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata, “Hukuman yang
paling ringan ialah 80 kali. Lalu ‘Umar pun menyuruh supaya didera 80
kali”. [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya]
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص
جَلَدَ فِى اْلخَمْرِ بِاْلجَرِيْدِ وَ النِّعَالِ: وَ جَلَدَ اَبُوْ
بَكْرٍ اَرْبَعِيْنَ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Anas, sesungguhnya Nabi SAW pernah memukul (orang) karena minum khamr dengan pelepah kurma dan sandal. Dan Abu Bakar mendera 40 kali. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ اْلحَارِثِ
قَالَ: جِيْءَ بِالنُّعْمَانِ اَوِ ابْنِ النُّعْمَانِ شَارِبًا، فَاَمَرَ
رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ كَانَ فِى اْلبَيْتِ اَنْ يَضْرِبُوْهُ، فَكُنْتُ
فِيْمَنْ ضَرَبَهُ، فَضَرَبْنَاهُ بِالنِّعَالِ وَ اْلجَرِيْدِ. احمد و
البخارى
Dari ‘Uqbah bin Al-Harits, ia
berkata, “Nu’man atau anaknya Nu’man pernah dihadapkan (kepada Nabi SAW)
karena minum khamr, lalu Rasulullah SAW menyuruh orang-orang yang di
rumah itu supaya memukulnya, maka aku (‘Uqbah) termasuk salah seorang
yang memukulnya. Kami pukul dia dengan sandal dan pelepah kurma”. [HR. Ahmad dan Bukhari]
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ
قَالَ: كُنَّا نُؤْتَى بِالشَّارِبِ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ فِى
إِمْرَةِ اَبِى بَكْرٍ وَ صَدْرًا مِنْ إِمْرَةِ عُمَرَ فَنَقُوْمُ
اِلَيْهِ نَضْرِبُهُ بِاَيْدِيْنَا وَ نِعَالِنَا وَ اَرْدِيَتِنَا، حَتَّى
كَانَ صَدْرًا مِنْ إِمْرَةِ عُمَرَ فَجَلَدَ فِيْهَا اَرْبَعِيْنَ،
حَتَّى اِذَا عَتَوْا فِيْهَا وَ فَسَقُوْا جَلَدَ ثَمَانِيْنَ. احمد و
البخارى
Dari Saib bin Yazid, ia berkata,
“Pernah dihadapan seorang peminum khamr kepada kami di zaman Rasulullah
SAW, juga di zaman pemerintahan Abu Bakar dan di permulaan pemerintahan
‘Umar, lalu kami berdiri menghampiri dia (peminum khamr itu), maka kami
pukul dia dengan tangan-tangan kami, dengan sandal-sandal kami dan
dengan selendang-selendang kami sehingga pada permulaan pemerintahan
‘Umar RA, ia memukul peminum khamr itu sebanyak 40 kali, sehingga
apabila mereka melampaui batas dalam minum khamr itu dan durhaka
(mengulangi lagi), ia dera sebanyak 80 kali”. [HR. Ahmad dan Bukhari]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ:
اُتِيَ النَّبِيُّ ص بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ فَقَالَ: اِضْرِبُوْهُ، فَقَالَ
اَبُوْ هُرَيْرَةَ: فَمِنَّا الضَّارِبُ بِيَدِهِ، وَ الضَّارِبُ
بِنَعْلِهِ، وَ الضَّارِبُ بِثَوْبِهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ بَعْضُ
اْلقَوْمِ: اَخْزَاكَ اللهُ، قَالَ: لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، لاَ
تُعِيْبُوْا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ. احمد و البخارى و ابو داود
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
Pernah dihadapkan seorang laki-laki yang telah minum khamr kepada Nabi
SAW, maka Nabi SAW bersabda, “Pukullah dia”. Abu Hurairah berkata, “Maka
diantara kami ada yang memukulnya dengan tangannya, ada yang memukulnya
dengan sandal dan ada pula yang memukul dengan pakaiannya”. Kemudian
setelah selesai sebagian kaum itu ada yang berkata, “Semoga Allah
menjadikan engkau hina (hai peminum khamr)”. Maka sabda Nabi SAW,
“Jangan kalian berkata begitu, jangan kalian minta bantuan syaithan
untuk menghukum dia”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Abu Dawud]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ قَالَ:
جُلِدَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى اْلخَمْرِ بِنَعْلَيْنِ
اَرْبَعِيْنَ. فَلَمَّا كَانَ زَمَنُ عُمَرَ جَعَلَ بَدَلَ كُلِّ نَعْلٍ
سَوْطًا. احمد
Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Peminum
khamr di zaman Rasulullah SAW didera dengan dua sandal sebanyak 40 kali.
Kemudian di zaman pemerintahan ‘Umar, masing-masing sandal itu diganti
dengan cambuk”. [HR. Ahmad]
عَنْ حُضَيْنِ بْنِ اْلمُنْذِرِ
قَالَ: شَهِدْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ أُتِيَ بِاْلوَلِيْدِ قَدْ
صَلَّى الصُّبْحَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: اَزِيْدُكُمْ، فَشَهِدَ
عَلَيْهِ رَجُلاَنِ اَحَدُهُمَا حُمْرَانُ اَنَّهُ شَرِبَ اْلخَمْرَ، وَ
شَهِدَ آخَرُ اَنَّهُ رَآهُ يَتَقَيَّؤُهَا، فَقَالَ عُثْمَانُ: اِنَّهُ
لَمْ يَتَقَيَّأْهَا حَتَّى شَرِبَهَا، فَقَالَ: يَا عَلِيُّ قُمْ
فَاجْلِدْهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: قُمْ يَا حَسَنُ فَاجْلِدْهُ، فَقَالَ
اْلحَسَنُ: وَلِّ حَارَّهَا مَنْ تَوَلَّى قَارَّهَا، فَكَأَنَّهُ وَجَدَ
عَلَيْهِ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ جَعْفَرٍ قُمْ فَاجْلِدْهُ،
فَجَلَدَهُ وَ عَلِيٌّ يَعُدُّ حَتَّى بَلَغَ اَرْبَعِيْنَ، فَقَالَ:
اَمْسِكْ، ثُمَّ قَالَ: جَلَدَ النَّبِيُّ ص اَرْبَعِيْنَ، وَ اَبُوْ
بَكْرٍ اَرْبَعِيْنَ، وَ عُمَرُ ثَمَانِيْنَ وَ كُلٌّ سُنَّةٌ وَ هذَا
اَحَبُّ اِلَيَّ. مسلم
Dari Hudlain bi Mundzir, ia berkata,
“Aku pernah menyaksikan Walid dihadapkan kepada ‘Utsman bin ‘Affan,
setelah selesai shalat Shubuh dua rekaat. Kemudian ‘Utsman bertanya,
“Apakah aku akan menambah kalian ?”. Lalu ada dua orang yang menjadi
saksi atas Walid, salah satu diantara keduanya itu adalah Humran, (ia
berkata) bahwa Walid benar-benar telah minum khamr, sedang yang satu
lagi menyaksikan, bahwa ia melihat Walid muntah khamr. Lalu ‘Utsman
berkata, “Sesungguhnya dia tidak akan muntah khamr jika dia tidak
meminumnya”. Lalu ‘Utsman berkata, “Hai ‘Ali, berdirilah, deralah dia”.
Maka ‘Ali pun berkata, “Hai Hasan, berdirilah, deralah dia”. Lalu Hasan
berkata, “Serahkanlah pekerjaan yang berat kepada orang yang dapat
menguasainya dengan tidak berat”. Seolah-olah ia pun merasakan keberatan
itu. Lalu ia berkata, “Hai ‘Abdullah bin Ja’far, berdirilah, deralah
dia”. Lalu ia pun menderanya, sedang ‘Ali sendiri menghitung, hingga
sampai 40 kali. Lalu ia berkata, “Berhenti”, lalu ia berkata, “Nabi SAW
mendera sebanyak 40 kali, Abu Bakar juga 40 kali, sedang ‘Umar mendera
80 kali. Namun semuanya itu adalah sesuai dengan sunnah (Rasul). Dan
inilah yang paling saya senangi”. [HR. Muslim]
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ
عَدِّى بْنِ اْلخِيَارِ اَنَّهُ قَالَ لِعُثْمَانَ: قَدْ اَكْثَرَ النَّاسُ
فِى اْلوَلِيْدِ، فَقَالَ: سَنَأْخُذُ مِنْهُ بِاْلحَقِّ اِنْ شَاءَ اللهُ
تَعَالَى، ثُمَّ دَعَا عَلِيًّا فَاَمَرَهُ اَنْ يَجْلِدَهُ، فَجَلَدَهُ
ثَمَانِيْنَ. مختصار من البخارى، و فى رواية عنه: اَرْبَعِيْنَ. وَ
يَتَوَجَّهُ اْلجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِمَا رَوَاهُ اَبُوْ جَعْفَرٍ
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ اَنَّ عَلِيَّ بْنَ اَبِى طَالِبٍ جَلَدَ بِسَوْطٍ
لَهُ طَرَفَانِ. الشافعى فى مسنده
Dari ‘Abdullah bin ‘Adi bin Khiyar,
sesungguhnya dia pernah berkata kepada ‘Utsman, “Banyak orang yang
keberatan tentang masalah Walid itu”. Lalu ‘Utsman berkata,
“Baiklah, kami akan mengambil darinya dengan benar, insya Allah”.
Kemudian ia memanggil ‘Ali seraya menyuruhnya untuk mendera Walid, maka
‘Ali mendera Walid sebanyak 80 kali. [Diringkas dari Bukhari]. Dan
dalam satu riwayat lain oleh Bukhari juga, “Ali mendera 40 kali”. Dan
dapat dikompromikan antara kedua riwayat itu dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali, sesungguhnya ‘Ali bin
Abu Thalib mendera Walid dengan satu cemeti berujung dua. [HR. Syafi'i dalam musnadnya]
عَنْ عَلِيٍّ رض فِى شُرْبِ
اْلخَمْرِ قَالَ: اِنَّهُ اِذَا شَرِبَ سَكَرَ، وَ اِذَا سَكَرَ هَذَى، وَ
اِذَا هَذَى افْتَرَى وَ عَلَى اْلمُفْتَرِى ثَمَانُوْنَ جَلْدَةً.
الدارقطنى و مالك بمعناه
Dari Ali RA tentang orang yang minum
khamr, ia berkata, “Sesungguhnya jika dia minum khamr, maka ia mabuk.
Dan jika mabuk, ia berkata tidak karuan. Dan jika berkata-kata tidak
karuan, ia berdusta. Sedang orang yang berdusta harus didera sebanyak 80
kali”. [HR. Daruquthni dan juga Malik semakna dengan itu]
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ
اَنَّ عُمَرَ خَرَجَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ: اِنِّى وَحَدْتُ مِنْ فُلاَنٍ
رِيْحَ شَرَابٍ، فَزَعَمَ اَنَّهُ شَرِبَ الطِّلاَءَ، وَ اِنِّى سَائِلٌ
عَمَّا شَرِبَ، فَاِنْ كَانَ مُسْكِرًا جَلَدْتُهُ، فَجَلَدَهُ عُمَرُ
اْلحَدَّ تَامًّا. النسائى و الدارقطنى
Dari Saib bin Yazid, sesungguhnya
‘Umar keluar ke tengah-tengah orang banyak, lalu ia berkata,
“Sesungguhnya aku mencium dari fulan bau minuman khamr”. Lalu ia yaqin
bahwa dia itu telah minum thila’ (khamr yang paling lezat). Dan aku
sendiri yang bertanya tentang apa yang ia minum. Jika dia mabuk, maka
akan kudera dia. Lalu ia didera oleh ‘Umar sebagai hukuman dengan
sempurna. [HR. Nasai dan Daruquthni]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ قَالَ:
اُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ ص بِرَجُلٍ نَشْوَانَ فَقَالَ: اِنِّى لَمْ اَشْرَبْ
خَمْرًا، اِنَّمَا شَرِبْتُ زَبِيْبًا وَ تَمْرًا فِى دُبَّاءَةٍ، قَالَ:
فَاَمَرَ بِهِ فَنُهِزَ بِاْلاَيْدِى وَ خُفِقَ بِالنِّعَالِ، وَ نَهَى
عَنِ الدُّبَّاءِ، وَ نَهَى عَنِ الزَّبِيْبِ وَ التَّمْرِ يَعْنِى اَنْ
يُخْلَطَا. احمد
Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pernah
terjadi seorang laki-laki yang sedang mabuk dibawa ke tempat Rasulullah
SAW lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak minum khamr, tetapi aku
hanya minum anggur kering yang dicampur kurma dalam sebuah dubba’ (wadah
minuman keras yang terbuat dari waluh yang sudah dibuang isinya)”. Lalu
beliau menyuruh supaya ia dipukul, lalu ia dipukul dengan tangan dan
dipukul dengan sandal, dan beliau melarang mempergunakan dubba’ dan
melarang juga minum anggur kering yang dicampur dengan kurma”. [HR. Ahmad]
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ اَنَّهُ
سُئِلَ عَنْ حَدِّ اْلعَبْدِ فِى اْلخَمْرِ، فَقَالَ: بَلَغَنِى اَنَّ
عَلَيْهِ نِصْفَ حَدِّ اْلحُرِّ فِى اْلخَمْرِ، وَ اَنَّ عُمَرَ وَ
عُثْمَانَ وَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ جَلَدُوْا عَبِيْدَهُمْ نِصْفَ
اْلحَدِّ فِى اْلخَمْرِ. مالك فى الموطأ
Dari Abu Syihab, sesungguhnya ia
pernah ditanya tentang hukuman seorang budak yang (mabuk) karena minum
khamr, maka jawabnya, “Telah sampai berita kepadaku, bahwa dia itu
dihukum separuh hukuman orang merdeka yang mabuk karena minum khamr. Dan
sesungguhnya ‘Umar, ‘Utsman, ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mendera
budak-budak mereka dengan separuh hukuman minum khamr”. [HR. Malik dalam Muwatha']
Keterangan :
Hadits-hadits tersebut menunjukkan
ditetapkannya hukuman minum khamr. Dan hukuman dera itu tidak kurang
dari 40 kali. Dan tidak ada riwayat yang menerangkan, bahwa Nabi SAW
membatasi 40 kali. Dan kadang-kadang beliau mendera dengan pelepah
kurma, kadang-kadang dengan sandal, kadang-kadang dengan pelepah kurma
dan sandal, kadang-kadang dengan pelepah kurma dan sandal serta pakaian
dan kadang-kadang dengan tangan dan sandal. Oleh karena itu bisa
dipahami, alat apa yang akan digunakan terserah kepada Hakim.
9. Tentang dihapuskannya hukuman bunuh bagi peminum khamr yang mengulang hingga 4 kali.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ شَرِبَ اْلخَمْرَ فَاجْلِدُوْهُ،
فَاِنْ عَادَ فَاجْلِدُوْهُ، فَاِنْ عَادَ فَاجْلِدُوْهُ، فَاِنْ عَادَ
فَاقْتُلُوْهُ. قَالَ عَبْدُ اللهِ: اُئْتُوْنِى بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ
اْلخَمْرَ فِى الرَّابِعَةِ فَلَكُمْ عَلَيَّ اَنْ اَقْتُلَهُ. احمد
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa minum khamr maka deralah ia,
kemudian jika kembali minum lagi, maka deralah dia, kemudian jika
kembali lagi maka deralah dia, dan jika kembali minum lagi maka bunuhlah
dia”. ‘Abdullah berkata, “Bawalah kemari seseorang dari kalian yang
minum khamr yang keempat kalinya, maka aku akan bunuh dia”. [HR. Ahmad]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنْ سَكِرَ فَاجْلِدُوْهُ، ثُمَّ اِنْ سَكِرَ
فَاجْلِدُوْهُ، فَاِنْ عَادَ فِى الرَّابِعَةِ فَاضْرِبُوْا عُنُقَهُ.
الخمسة الا الترمذى
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Jika (seseorang) mabuk, maka deralah dia,
kemudian jika ia mabuk lagi, maka deralah dia kemudian jika ia kembali
lagi yang keempat kalinya, maka penggallah lehernya”. [HR. Khamsah kecuali Tirmidzi]
عَنْ مُعَاوِيَةَ اَنَّ
النَّبِيَّ ص قَالَ: اِذَا شَرِبُوا اْلخَمْرَ فَاجْلِدُوْهُمْ، ثُمَّ
اِذَا شَرِبُوْا فَاجْلِدُوْهُمْ، ثُمَّ اِذَا شَرِبُوا الرَّابِعَةَ
فَاقْتُلُوْهُمْ. الخمسة الا النسائى. قَالَ التِّرْمِذِى: اِنَّمَا كَانَ
هذَا فِى اَوَّلِ اْلاَمْرِ ثُمَّ نُسِخَ بَعْدُ.
Dari Mu’awiyah, sesungguhnya Nabi SAW
telah bersabda, “Apabila mereka minum khamr, maka deralah mereka,
kemudian jika mereka minum lagi, deralah mereka, kemudian jika mereka
minum untuk keempat kalinya, maka bunuhlah mereka”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]. Tirmidzi berkata, “Ini hanya terjadi di zaman permulaan, kemudian sesudah itu hukuman tersebut dihapus”.
عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ ص
قَالَ: اِنْ شَرِبَ اْلخَمْرَ فَاجْلِدُوْهُ فَاِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ
فَاقْتُلُوْهُ، قَالَ: ثُمَّ اُتِيَ النَّبِيُّ ص بَعْدَ ذلِكَ بِرَجُلٍ
قَدْ شَرِبَ فِى الرَّابِعَةِ فَضَرَبَهُ وَ لَمْ يَقْتُلْهُ. محمد بن
اسحاق، فى نيل الاوطار 7:166
Dari Jabir, dari Nabi SAW, beliau
telah bersabda, “Jika (seseorang) minum khamr, maka deralah dia,
kemudian jika mengulang lagi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.
Jabir berkata, “Kemudian setelah itu dihadapkan seorang laki-laki yang
telah minum khamr keempat kalinya kepada Nabi SAW, tetapi beliau hanya
menderanya dan tidak membunuhnya”. [HR. Muhammad bin Ishaq dalam Nailul Authar 7, hal 166]
Keterangan :
Orang yang telah berulang kali mendapat
hukuman dera karena minum khamr tetapi tidak jera, orang seperti itu
jelas orang yang nekad dan sangat jahat, dan dia pantas mendapat hukuman
yang lebih berat. Namun karena hukuman bunuh bagi peminum khamr yang
keempat kalinya itu telah dihapus, maka bagaimanapun juga hakim tidak
boleh menjatuhkan hukuman bunuh bagi peminum khamr, walaupun dia sudah
minum yang keempat kali atau lebih.
10. Khamr Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Obat.
Tentang menggunakan khamr sebagai obat itu, diterangkan dalam hadits sebagai berikut :
مَا اَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ اِلاَّ اَنْزَلَهُ شِفَاءً. البخارى صحيح
Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan Dia menurunkan penawar baginya. [HSR. Bukhari]
اِنَّ اللهَ اَنْزَلَ الدَّاءَ
وَ الدَّوَاءَ وَ جَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَ لاَ
تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ. ابو داود صحيح
Sesungguhnya Allah telah menurunkan
penyakit dan juga obat(nya). Dan Dia telah mengadakan obat bagi
tiap-tiap penyakit. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan (barang)
yang haram. [HSR Abu Dawud]
اِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً اِلاَّ اَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَ جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ. احمد
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan
penyakit, melainkan Dia menurunkan penawar baginya, yang diketahui oleh
orang yang pandai dan tidak diketahui oleh orang yang bodoh. [HR. Ahmad]
قَالَ اَبُوْ هُرَيْرَةَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الدَّوَاءِ اْلخَبِيْثِ. مسلم
Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah SAW melarang berobat dengan obat yang jelek”. [HSR. Muslim]
Di dalam perkataan jelek itu, termasuk juga barang yang diharamkan seperti : khamr, babi, dan lain-lainnya.
Dengan keterangan-keterangan hadits,
nyatalah bagi kita, bahwa tiap-tiap penyakit itu, ada obatnya. Tetapi
kebanyakan dari kita tidak mempedulikan hal itu, hingga menyebabkan kita
berobat dengan barang-barang yang diharamkan Allah. Dari
keterangan-keterangan itu, kita dapat mengerti, bahwa berobat dengan
barang yang telah diharamkan oleh syara’ itu haram pula hukumnya. Dan
larangan berobat dengan arak itu, dengan terang dan tegas disebut dalam
hadits sebagai berikut :
قَالَ وَائِلُ بْنُ حُجْرٍ:
اِنَّ طَارِقَ بْنَ سُوَيْدٍ سَأَلَ النَّبِيَّ ص عَنِ اْلخَمْرِ،
فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: اَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. قَالَ: اِنَّهُ
لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَ لكِنَّهُ دَاءٌ. مسلم و الترمذى صحيح
Wail bin Hujr telah berkata,
bahwasanya Thariq bin Suwaid pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang
khamr, maka Nabi melarang hal itu. Lalu ia berkata, “Saya membuatnya
untuk dijadikan obat”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya khamr
itu bukan obat, tetapi penyakit”. [HSR. Muslim dan Tirmidzi]
قَالَ بْنُ مَسْعُوْدٍ فِى اْلمُسْكِرِ: اِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ كَمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ. البخارى صحيح
Ibnu Mas’ud telah berkata tentang
barang yang memabukkan, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu
pada barang yang Dia telah mengharamkan padanya”. [HSR. Bukhari]
Dua keterangan yang baru tersebut ini
menegaskan bahwa khamr itu bukan obat, tetapi penyakit, yakni bisa
menimbulkan penyakit, walaupun orang menggunakan sebagai obat. Dan kita
dilarang menjadikan khamr sebagai obat.
11. Larangan Duduk Pada Jamuan Makan yang di situ Disuguhkan/ Diedarkan Khamr.
Berdasar sunnah Nabi SAW, orang Islam
diharuskan meninggalkan tempat jamuan yang ada khamrnya, termasuk
duduk-duduk dengan orang yang sedang minum khamr.
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab RA, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ. احمد
Barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka jangan sekali-kali ia duduk pada suatu hidangan yang
padanya diedarkan khamr. [HR. Ahmad]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ
فَلاَ يَقْعُدْ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ. الدارمى
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka janganlah ia duduk pada jamuan makan yang ada minum khamr padanya”. [HR. Ad-Darimiy]
Setiap muslim diperintah untuk
menghentikan kemungkaran jika menyaksikan-nya. Tetapi jika tidak mampu,
dia harus menyingkir atau meninggalkannya.
Dalam salah satu kisah diceritakan,
bahwa Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah mendera orang-orang yang
minum khamr dan yang ikut menyaksikan jamuan mereka itu, sekalipun orang
yang menyaksikan itu tidak turut minum bersama mereka.
Dan diriwayatkan pula, bahwa pernah ada
suatu qaum yang diadukan kepadanya karena minum khamr, kemudian beliau
memerintahkan agar semuanya didera. Lalu ada orang yang berkata, bahwa
diantara mereka itu ada yang berpuasa. Maka jawab ‘Umar, “Dera dulu, dia
!”. Apakah kamu tidak mendengar firman Allah :
وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى
اْلكِتبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ ايتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَ
يُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِى
حَدِيْثٍ غيْرِهِ اِنَّكُمْ اِذًا مّثْلُهُم. النساء:140
Sungguh Allah telah menurunkan
kepadamu dalam Al-Qur’an, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah
ditentang dan diejeknya. Maka itu janganlah kamu duduk bersama mereka,
sehingga mereka itu memasuki dalam pembicaraanan yang lain. Sebab
sesungguhnya jika kamu berbuat demikian adalah sama dengan mereka. [QS. An-Nisaa' : 140]
12. Nabi SAW pernah melarang wadah yang biasa digunakan membuat/ menyimpan khamr, kemudian membolehkannya.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ وَفْدَ
عَبْدِ الْقَيْسِ قَدِمُوْا عَلَى النَّبِيِّ ص. فَسَأَلُوْهُ عَنِ
النَّبِيْذِ، فَنَهَاهُمْ أَنْ يَنْبُذُوْا فِى الدُّبَّاءِ وَالنَّقِيْرِ
وَالْمُزَفَّتِ وَالْحَنْتَمِ. متفق عليه
Dari ‘Aisyah RA, bahwa utusan Abdul
Qais menghadap Nabi SAW, lalu mereka bertanya kepada beliau tentang
(membuat) minuman. Lalu Nabi SAW melarang mereka membuat minuman di
tempat (wadah) dari dubba’, naqir, muzaffat dan guci. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ ص. قَالَ لِوَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ اَنْهَاكُمْ عَمَّا
يُنْبَذُ فِى الدُّبَّاءِ وَالنَّقِيْرِ وَالْحَنْتَمِ وَالْمُزَفَّتِ.
متفق عليه
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW
bersabda kepada utusan Abdul Qais : “Aku melarang kamu (minum) minuman
yang dibuat pada dubba’, pada naqir, pada guci dan di wadah yang dicat”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ مَيْمُوْنَةَ أَنَّ
النَّبِيَّ ص. قَالَ: لاَ تَنْبُذُوْا فىِ الدُّبَّاءِ ، وَلاَ فىِ
الْمُزَفَّتِ ، وَلاَ فِى النَّقِيْرِ، وَلاَ فِى الْجِرَارِ، وَ قَالَ:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. احمد
Dari Maimunah RA, dari Nabi SAW
bahwasanya beliau bersabda, “Jangan kamu membuat minuman pada dubba’,
jangan pada wadah yang dicat, jangan pada lubang kayu, dan jangan di
guci”. Dan beliau bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan itu haram”. [HR. Ahmad].
عَنِ ابْنِ أَبِى اَوْفَى قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ ص. عَنْ نَّبِيْذِ الْجَرِّ اْلاَخْضَرِ. متفق عليه
Dari Ibnu Abi Aufa RA ia berkata, “Nabi SAW melarang minuman (yang dibuat pada) guci hijau”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ عَلِيٍّ رض قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ ص اَنْ تَنْبُذُوْا فِى الدُّبَّاءِ وَ الْمُزَفَّتِ. متفق عليه
Dari Ali RA. ia berkata, “Rasulullah SAW melarang kamu membuat minuman pada dubba’ dan pada wadah yang dicat”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
وَ فِى رِوَايَةٍ اَنَّ
النَّبِيَّ ص نَهَى عَنِ الْمُزَفَّتِ وَ الْحَنْتَمِ وَ النَّقِيْرِ،
قِيْلَ ِلاَبِى هُرَيْرَةَ: مَا الْحَنْتَمُ ؟ قَالَ: اَلْجِرَارُ
الْخُضَرُ. احمد و مسلم
Dan dalam riwayat lain dikatakan,
bahwa Nabi SAW melarang (membuat minuman pada) wadah yang dicat, pada
hantam dan pada lubang kayu. Abu Hurairah ditanya, “Apa Hantam itu ?”. Ia menjawab, “Guci yang hijau”. [HR. Ahmad dan Muslim].
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ أَنَّ
وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَاذَا يَصْلُحُ
لَنَا مِنَ اْلاَشْرِبَةِ ؟ قَالَ: لاَ تَشْرَبُوْا فِى النَّقِيْرِ،
فَقَالُوْا جَعَلْنَا اللهُ فِدَاكَ، اَوَ تَدْرِى مَا النَّقِيْرُ؟ قَالَ:
نَعَمْ، اَلْجَذْعُ يُنْقَرُ فِى وَسَطِهِ، وَ لاَ فِى الدُّبَّاءِ، وَ
لاَ فِى الْحَنْتَمِ، وَ عَلَيْكُمْ بِالْمُوْكِى. احمد و مسلم
Dari Abu Sa’id, bahwa utusan Abdul
Qais bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang boleh bagi kami dari berbagai
minuman ? Nabi SAW menjawab, “Jangan kamu minum di wadah naqir”. Lalu
mereka bertanya, “Semoga Allah menjadikan kami tebusanmu. Apa naqir itu
?” Nabi menjawab, “Yaitu batang kurma yang dilubangi pada
tengah-tengahnya. Jangan kamu (minum) pada dubba’, jangan (pula) pada
guci, dan hendaklah kamu (minum) pada bejana yang tertutup”. [HR. Ahmad dan Muslim]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ،
وَ الْمُزَفَّتِ. مسلم و النسائى و ابو داود
Dan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW melarang memakai wadah dubba’, guci dan wadah yang dicat. [HR. Muslim, Nasai dan Abu Dawud].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالاَ: حَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ ص نَبِيْذَ اْلجَرِّ. احمد و مسلم و النسائى و ابو داود
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka berkata, “Rasulullah SAW mengharamkan (minuman) dalam guci”. [HR. Ahmad, Muslim, Nasai dan Abu Dawud].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَنْتَمَةِ، وَ هِيَ اْلجَرَّةُ، وَ نَهَى عَنِ
الدُّبَّاءِ وَ هِيَ اْلقَرْعَةُ، وَ نَهَى عَنِ النَّقِيْرِ، وَ هِيَ
اَصْلُ النَّخْلِ يُنْقَرُ نَقْرًا وَ يُنْسَحُ نَسْحًا، وَ نَهَى عَنِ
اْلمُزَفَّتِ، وَ هُوَ اْلمُقَـيَّرُ، وَ اَمَرَ اَنْ يُنْبَذَ فِى
اْلاَسْقِيَةِ. احمد و مسلم و النسائى و الترمذى و صححه
Dari Ibnu Umar, ia berkata,
“Rasulullah SAW melarang (minuman pada) hantam, yaitu guci, dan beliau
melarang dari dubba’ yaitu labu (waloh yang dihilangkan isinya),
melarang (minuman pada) naqir, yaitu batang kurma yang dilubangi atau
dikerat, melarang (minum pada) muzaffat, yaitu wadah yang diberi tir,
dan (Nabi) menyuruh membuat minuman pada tempat-tempat minuman (biasa). [HR. Ahmad, Muslim, Nasai dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya].
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ اْلاَشْرِبَةِ اِلاَّ فِى
ظُرُوْفِ اْلاَدَمِ، فَاشْرَبُوْا فِى كُلِّ وِعَاءٍ غَيْرَ اَنْ لاَ
تَشْرَبُوْا مُسْكِرًا. احمد و مسلم و ابو داود و النسائى
Dari Buraidah, ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Aku pernah melarang kamu beberapa
minuman kecuali (minuman yang) di kantong-kantong kulit yang disamak.
Sekarang minumlah (minuman) di semua tempat minuman, tapi jangan kamu
minum (minuman yang) memabukkan”. [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Nasai]
و فى رواية: نَهَيْتُكُمْ عَنِ
الظُّرُوْفِ وَ اِنَّ ظَرْفًا لاَ يُحِلُّ شَيْئًا وَّ لاَ يُحَرِّمُهُ، وَ
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. الجماعة الا البخارى و ابا داود
Dan dalam riwayat lain dikatakan,
“Aku pernah melarang kamu beberapa wadah (minuman), namun (ketahuilah)
sesungguhnya wadah (itu sendiri) tidak bisa menghalalkan sesuatu dan
mengharamkannya dan setiap minuman yang memabukkan itulah yang haram”. [HR. Jama'ah, kecuali Bukhari dan Abu Dawud].
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ النَّبِيْذِ فِى الدُّبَّاءِ وَ النَّقِيْرِ وَ
اْلمُزَفَّتِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذلِكَ: اَلاَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ
النَّبِيْذِ فِى اْلاَوْعِيَةِ فَاشْرَبُوْا فِيْمَا شِئْتُمْ وَ لاَ
تَشْرَبُوْا مُسْكِرًا. مَنْ شَاءَ اَوْكَى سِقَائَهُ عَلَى اِثْمٍ. احمد
Dari Anas, ia berkata : Rasulullah
SAW melarang membuat minuman di dubba’, di lubang kayu, di guci dan di
wadah yang dicat. Kemudian sesudah itu, beliau bersabda : “Benar aku
pernah melarang kamu membuat minuman di beberapa wadah, namun (sekarang)
boleh kamu minum di wadah mana saja yang kamu sukai, tapi janganlah
minum minuman yang memabukkan, barang siapa (tetap) menghendaki (minuman
yang memabukkan) berarti ia menutupi wadahnya itu dengan dosa”. [HR. Ahmad].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
مُغَفَّلٍ قَالَ: اَنَا شَهِدْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص حِيْنَ نَهَى عَنِ
النَّبِيْذِ اْلجَرِّ. وَ اَنَا شَهِدْتُهُ حِيْنَ رَخَّصَ فِيْهِ، وَ
قَالَ: وَ اجْتَنِبُوْا كُلَّ مُسْكِرٍ. احمد
Dari Abdullah bin Mughaffal RA ia
berkata, saya menyaksikan Rasulullah SAW ketika beliau melarang membuat
minuman pada guci dan saya pun menyaksikan ketika beliau memberi
keringanan padanya. Seraya bersabda, “Dan jauhilah setiap minuman yang
memabukkan”. [HR. Ahmad].
Keterangan :
Dubba’ ialah labu (waloh) yang
dihilangkan isinya. Hantam atau jarrah ialah guci (hijau). Naqir ialah
batang (glugu) kurma dilubangi tengahnya, dan muqayyar atau muzaffat
ialah wadah yang diberi tir atau yang diberi cat.
Wadah-wadah tersebut pada waktu itu
biasa digunakan membuat/menyimpan minuman keras. Oleh karena itu beliau
melarangnya menggunakan wadah-wadah tersebut.
Tetapi setelah orang-orang mengetahui
dengan jelas tentang haramnya khamr, maka beliau membolehkan minum pada
wadah apa saja, asalkan bukan minum minuman yang memabukkan. (Sumber : Hukum Minuman Keras)
[agoezta]
Langganan:
Postingan (Atom)