Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk menikah.
Allah menyebutkannya dalam banyak ayat
di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di
antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan
Zakariya Alaihissallam :
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a.” [Ali ‘Imran/3: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala
ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup
seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’/21:
89].
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan
karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 32].
Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
“Jika seorang hamba menikah, maka ia
telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia
bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”[1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ اثْنَيْنِ وَلَجَ الْجَنَّةَ: مَـا بَيْنَ لَحْيَيْهِ، وَمَـا بَيْـنَ رِجْلَيْهِ.
“Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah
dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di
antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara
kedua kakinya (kemaluannya).”[2]
Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai
saudaraku- karena engkau memelihara dirimu dari keburukan apa yang ada
di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah atau berpuasa.
Saudaraku yang budiman! Pernikahan
adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke
dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual)
dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan disampaikan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah dan mencari keturunan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu anhu:
تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَـامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى.
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku
akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari
Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak.
Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup
membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.
Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang menunjukkan hal itu:
Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang menunjukkan hal itu:
1. Nikah adalah Sunnah para Rasul.
Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?
Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub
Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مِنْ سُـنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ: اَلْحَيَـاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ.
“Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.”[4]
2. Siapa yang mampu di antara kalian untuk menikah, maka menikahlah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayat-kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayat-kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ،
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di
antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih
dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan
syahwatnya (sebagai tameng).’”[5]
3. Orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka Allah pasti menolongnya.
Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.
Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ:
اَلْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي
يُرِيْدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.
“Ada tiga golongan yang pasti akan
ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan
mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara
kesucian, dan pejuang di jalan Allah.”[6]
4. Menikahi wanita yang berbelas kasih dan subur (banyak anak) adalah kebanggaan bagimu pada hari Kiamat.
Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.
Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu, ia menuturkan:
“Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain
(disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak
dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau
menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua
kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau
untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang
berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan
jumlah kalian kepada umat-umat yang lain.’”[7]
5. Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah.
Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka.”
Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka.”
Beliau bersabda: “Bukankah Allah telah
menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap tasbih
adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah
shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf
adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan
persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah
shadaqah.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?”
Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat
kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram,
apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya
kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”[8]
6. Menikah dapat mengembalikan semangat “kepemudaan”.
Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.
Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.
Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan
hal itu kepada kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari
‘Alqamah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku bersama ‘Abdullah (bin
Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia mengatakan:
‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat kepadamu.’
Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman bertanya
kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan
seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah
engkau alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya,
maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’
Ketika aku menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan
demikian, maka sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu
untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka
berpuasalah; karena puasa dapat mengendalikan syahwatnya.’”[9]
7. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan suami isteri agar melakukan aktivitas seksual guna
memperolah keturunan, dan menikah dengan gadis.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: ‘Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.’ Seorang sahabatnya berkata kepadanya: ‘Insya Allah.’ Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.’”[10]
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: ‘Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.’ Seorang sahabatnya berkata kepadanya: ‘Insya Allah.’ Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.’”[10]
Dalam riwayat Muslim (disebutkan): “Aku
bersumpah kepada Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya!
‘Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya mereka berjihad di
jalan Allah sebagai prajurit semuanya.’”[11]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Aku bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata untaku
berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang kepadaku lalu menegur: ‘Jabir!’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau
bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab: ‘Untaku berjalan lambat dan
kelelahan sehingga aku tertinggal.’ Lalu beliau turun untuk mengikatnya
dengan tali, kemudian bersabda: ‘Naiklah!’ Aku pun naik. Sungguh aku
ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
bertanya: ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab: ‘Sudah.’ Beliau
bertanya: ‘Gadis atau janda?’ Aku menjawab: ‘Janda.’ Beliau bersabda:
‘Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main
dengannya dan ia pun bermain-main dengan-mu?’ Aku menjawab:
‘Sesungguhnya aku mempunyai saudara-saudara perempuan, maka aku ingin
menikahi seorang wanita yang bisa mengumpulkan mereka, menyisir mereka,
dan membimbing mereka.’ Beliau bersabda: ‘Engkau akan datang; jika
engkau datang, maka demikian, demikian.’[12] Beliau bertanya: ‘Apakah
engkau akan menjual untamu?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Lalu beliau membelinya
dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari.
Ketika kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu
masjid. Beliau bertanya: ‘Apakah sekarang engkau telah tiba?’ Aku
menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan untamu lalu masuklah ke
masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.’ Kemudian aku masuk, lalu
melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal agar
membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan
mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: ‘Panggillah
Jabir kepadaku.’ Aku mengatakan: ‘Sekarang unta dikembalikan kepadaku,
padahal tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.’
Beliau bersabda: ‘Ambil-lah untamu, dan harganya untukmu.’”[13]
Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِاْلأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ.
“Nikahlah dengan gadis perawan; sebab
mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha
dengan yang sedikit.”[14]
8. Anak dapat memasukkan bapak dan ibunya ke dalam Surga.
Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
يُقَـالُ لِلْوِلْدَانِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ: اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ. قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: يَـا رَبِّ،
حَتَّى يَدْخُلَ آبَاؤُنَا وَأُمَّهَاتُنَا، قَالَ: فَيَأْتُوْنَ. قَالَ:
فَيَقُوْلُ اللهُ : مَـا لِي أَرَاهُمْ مُحْبَنْطِئِيْنَ، اُدْخُلُوا
الْجَنَّةَ، قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: يَـا رَبِّ، آبَاؤُنَا
وَأُمَّهَاتُنَـا. قَالَ: فَيَقُوْلُ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ
وَآبَاؤُكُمْ.
“Di perintahkan kepada anak-anak di
Surga: ‘Masuklah ke dalam Surga.’ Mereka menjawab: ‘Wahai Rabb-ku, (kami
tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk (terlebih dahulu).’ Ketika
mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla berfirman
kepada mereka: ‘Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke
dalam Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?’
Allah berfirman: ‘Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua
kalian.’”[15]
Sebagian manusia memutuskan untuk
beribadah dan menjadi “pendeta” serta tidak menikah, dengan alasan bahwa
semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Kita
sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui
ajaran-ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti
Sunnahnya pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:
9. Tidak menikah karena memanfaatkan
seluruh waktunya untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama “kependetaan” dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.
Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama “kependetaan” dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: Ada
tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak
berarti. Mereka mengatakan: “Apa artinya kita dibandingkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni
dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?” Salah seorang dari mereka
berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Orang kedua mengatakan:
“Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka.” Orang
ketiga mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
selamanya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
lalu bertanya: “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian?
Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa
daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur,
serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka ia
bukan termasuk golonganku.’”[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyetujui Salman Radhiyallahu anhu atas apa yang dikatakannya kepada
saudaranya, Abud Darda’ Radhiyallahu anhu yang telah beristeri, agar
tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya,
yaitu Ummud Darda’ Radhiyallahu anha. Dia menceritakan kepada kita
peristiwa yang telah terjadi.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin
‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda’. Ketika Salman
mengunjungi Abud Darda’, dia melihat Ummud Darda’ mubtadzilah (memakai
baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus).[17] Dia bertanya:
“Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab: “Saudaramu, Abud Darda’, tidak
membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah
terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam
hari’).”
Kemudian Abud Darda’ datang lalu Salman
dibuatkan ma-kanan. “Makanlah, karena aku sedang berpuasa,” kata Abud
Darda’. Ia menjawab: “Aku tidak akan makan hingga engkau makan.” Abud
Darda’ pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda’ pergi untuk
mengerjakan shalat.
Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ia
pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata
kepadanya: “Tidurlah!” Ketika pada akhir malam, Salman berkata:
“Bangunlah sekarang.” Lantas keduanya melakukan shalat bersama.
Kemudian Salman berkata kepadanya:
“Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan
keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berikanlah haknya
kepada masing-masing pemiliknya.”
Kemudian Abud Darda’ datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: “Salman benar.”[18]
Kemudian Abud Darda’ datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: “Salman benar.”[18]
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Abdullah, aku diberi
kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada
malam hari?” Aku menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda:
“Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah.
Sebab jasadmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan
isterimu mempunyai hak atasmu.’”[19]
10. Berikut ini sebagian ucapan para Sahabat dan Tabi’in yang menganjurkan untuk menikah.
a. Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku: “Apakah engkau sudah menikah?” Aku menjawab: “Belum.” Dia mengatakan: “Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya.”[20]
a. Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku: “Apakah engkau sudah menikah?” Aku menjawab: “Belum.” Dia mengatakan: “Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya.”[20]
b. ‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari lagi, niscaya aku
ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak
berpisah dariku.”[21]
c. Imam Ahmad ditanya: “Apakah seseorang
diberi pahala bila mendatangi isterinya, sedangkan dia tidak memiliki
syahwat?” Ia menjawab: “Ya, demi Allah, karena ia menginginkan anak.
Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: ‘Ini adalah wanita
muda.’ Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?”[22]
d. Maisarah berkata, Thawus berkata
kepadaku: “Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu
seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawa-id: ‘Tidak ada yang
menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak dosa.’”[23]
e. Wahb bin Munabbih rahimahullah
berkata: “Bujangan itu seperti pohon di tanah gersang yang
diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian.”[24]
Sungguh indah ucapan seorang penya’ir :
Sungguh indah ucapan seorang penya’ir :
Renungkan ucapan orang yang mempunyai nasihat dan kasih sayang
Bersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu
Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murni
Dan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan
Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan
tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu
Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal
Maka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir
Bersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu
Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murni
Dan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan
Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan
tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu
Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal
Maka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir
11. Menikah dapat membantu menahan pandangan dan meng-alihkan (mengarahkan) hati untuk mentaati Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab: “Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan beberapa perkara:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab: “Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan beberapa perkara:
Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya). Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّمَا مَعَهَا مَا مَعَهَا.
‘Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita,
maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang dimiliki isterinya.’”[25]
maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang dimiliki isterinya.’”[25]
Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.
Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a dengan ucapannya:
Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a dengan ucapannya:
يَـا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ
قَلْبِيْ عَلَـى دِيْنِكَ! يَـا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قَلْبِيْ
إِلَى طَاعَتِكَ وَطَاعَةِ رَسُوْلِكَ.
‘Wahai Rabb Yang membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Rabb Yang memalingkan hati,
palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu dan mentaati Rasul-Mu.’
Sebab, selama dia terus berdo’a dan
bertadharru’ kepada Allah, maka Dia memalingkan hatinya dari keburukan,
sebagaimana firman-Nya:
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
‘… Demikianlah, agar Kami memalingkan
daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk
hamba -hamba kami yang terpilih.’ [Yusuf/12: 24]
Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan
berkumpul dengan orang yang biasa berkumpul dengannya; di mana dia
tidak mendengar beritanya dan tidak melihat dengan matanya; karena
berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang diingat,
maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.
Oleh karenanya, hendalah dia melakukan
perkara-perkara ini dan memperhatikan perkara yang dapat memperbaharui
keadaannya. Wallaahu a’lam.”[26]
Syaikhul Islam ditanya tentang seseorang
yang membujang sedangkan dirinya ingin menikah, namun dia khawatir
terbebani oleh wanita apa yang tidak disanggupinya. Padahal ia berjanji
kepada Allah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada seseorang untuk
kebutuhan dirinya, dan ia banyak mengamati perkawinan; apakah dia
berdosa karena tidak menikah ataukah tidak?
Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَـرِ،
وَأَحْصَنُ لِلْفَـرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ،
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di
antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih
dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan
syahwatnya.”[27]
Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk berhubungan badan.
Hadits ini hanyalah perintah yang
ditujukan kepada orang yang mampu melakukan hubungan badan. Karena itu
beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk menikah agar berpuasa;
sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.
Bagi siapa yang tidak mempunyai harta;
apakah dianjurkan untuk meminjam lalu menikah? Mengenai hal ini
diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan selainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah menjadikan mereka
mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 33].
Adapun ‘laki-laki yang shalih’ adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya.[28]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal
Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq.
Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad
Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
[1]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 625).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 2411) dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” al-Hakim (IV/357) dan ia mengatakan: “Sanadnya shahih” dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 150).
[3]. HR. Al-Baihaqi (VII/78) dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah dengan hadits-hadits pendukungnya (no. 1782).
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih.”
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.
Pensyarah kitab Tuhfatul Ahwadzi berkata: “Al-baa-u asalnya dalam bahasa Arab, berarti jima’ yang diambil dari kata al-mabaa-ah yang berarti tempat tinggal. Mampu dalam hadits ini memiliki dua makna, mampu berjima’ dan mampu memikul beban nikah.” Demikianlah maksud dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, hal. 12 dari kitab Tuhfatul Ahwadzi. Kemudian para ulama berkata: “Adapun orang yang tidak mampu berjima’, maka ia tidaklah butuh berpuasa. Jika demikian, maka makna kedua lebih shahih.”
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512) dan di-hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykaah (no. 3089), Shahiih an-Nasa-i (no. 3017), dan Shahiihul Jaami’ (no. 3050).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, dan para perawinya tsiqah (ter-percaya) kecuali Mustaslim bin Sa’id, ia adalah shaduq, an-Nasa-i (no. 3227), kitab an-Nikaah, dan para perawinya terpercaya selain ‘Abdurrahman bin Khalid, ia adalah shaduq.
[8]. HR. Muslim (no. 1006). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah,’ dimutlakkan atas jima. Ini sebagai dalil bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’ menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak isteri dan mempergaulinya dengan baik sebagaimana Allah memerintahkan kepadanya, atau diniatkan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau memelihara dirinya.” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika manusia mati, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendo’akannya.” [HR. Muslim].
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5065) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1400) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2045) kitab an-Nikaah. Pensyarah kitab ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/28-29) berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman -kun-yah Ibnu Mas’ud-, akan kembali kepadamu apa yang pernah engkau alami, akan kembali kepadamu apa yang telah berlalu dari semangatmu dan kekuatan muda-mu. Sebab, itu dapat membangkitkan kekuatan badan.”
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3424), kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’.
[11]. HR. Muslim (no. 1659), kitab al-Aimaan wan-Nudzuur.
[12]. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-kais al-kais dengan jima’. Sebagian lainnya menafsirkannya dengan memperoleh anak dan keturunan. Sebagian lain lagi menafsirkannya sebagai anjuran untuk berjima’.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5079) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Aimaan, Ibnu Majah (no. 1860) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13710).
[14]. HR. Ibnu Majah (no. 1861) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdurrahman bin Salim, yang dinilai oleh al-Bukhari bahwa haditsnya tidak shahih.
[15]. HR. Ahmad (no. 16523), dan para perawinya tsiqat kecuali Abul Mughirah, ia adalah shaduq.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122).
[17]. Peristiwa ini sebelum turunnya ayat hijab, wallaahu a’lam.
[18]. HR. Al-Bukhari (no. 1968) kitab ash-Shiyaam, at-Tirmidzi (no. 2413).
[19]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Muslim (no. 1159).
[20]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 2049).
[21]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (IV/128), ‘Abdurrazzaq (no. 10382, VI/ 170).
[22]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/31).
[23]. ‘Abdurrazzaq (no. 10384, VI/170), Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/47-48). Amirul Mukminin z hanyalah ingin membangkitkan semangat bawahannya itu supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawa-id belum menikah, padahal usianya semakin tua. Lihat Fat-hul Baari (IX/91), al-Ihyaa’ (II/23), al-Muhalla (IX/44).
[24]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 10386, VI/171).
[25]. HR. Muslim (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128).
[26]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/5-6).
[27]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.
[28]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/6).
[agoezta]
_______
[1]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 625).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 2411) dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” al-Hakim (IV/357) dan ia mengatakan: “Sanadnya shahih” dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 150).
[3]. HR. Al-Baihaqi (VII/78) dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah dengan hadits-hadits pendukungnya (no. 1782).
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih.”
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.
Pensyarah kitab Tuhfatul Ahwadzi berkata: “Al-baa-u asalnya dalam bahasa Arab, berarti jima’ yang diambil dari kata al-mabaa-ah yang berarti tempat tinggal. Mampu dalam hadits ini memiliki dua makna, mampu berjima’ dan mampu memikul beban nikah.” Demikianlah maksud dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, hal. 12 dari kitab Tuhfatul Ahwadzi. Kemudian para ulama berkata: “Adapun orang yang tidak mampu berjima’, maka ia tidaklah butuh berpuasa. Jika demikian, maka makna kedua lebih shahih.”
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512) dan di-hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykaah (no. 3089), Shahiih an-Nasa-i (no. 3017), dan Shahiihul Jaami’ (no. 3050).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, dan para perawinya tsiqah (ter-percaya) kecuali Mustaslim bin Sa’id, ia adalah shaduq, an-Nasa-i (no. 3227), kitab an-Nikaah, dan para perawinya terpercaya selain ‘Abdurrahman bin Khalid, ia adalah shaduq.
[8]. HR. Muslim (no. 1006). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah,’ dimutlakkan atas jima. Ini sebagai dalil bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’ menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak isteri dan mempergaulinya dengan baik sebagaimana Allah memerintahkan kepadanya, atau diniatkan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau memelihara dirinya.” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika manusia mati, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendo’akannya.” [HR. Muslim].
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5065) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1400) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2045) kitab an-Nikaah. Pensyarah kitab ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/28-29) berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman -kun-yah Ibnu Mas’ud-, akan kembali kepadamu apa yang pernah engkau alami, akan kembali kepadamu apa yang telah berlalu dari semangatmu dan kekuatan muda-mu. Sebab, itu dapat membangkitkan kekuatan badan.”
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3424), kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’.
[11]. HR. Muslim (no. 1659), kitab al-Aimaan wan-Nudzuur.
[12]. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-kais al-kais dengan jima’. Sebagian lainnya menafsirkannya dengan memperoleh anak dan keturunan. Sebagian lain lagi menafsirkannya sebagai anjuran untuk berjima’.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5079) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Aimaan, Ibnu Majah (no. 1860) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13710).
[14]. HR. Ibnu Majah (no. 1861) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdurrahman bin Salim, yang dinilai oleh al-Bukhari bahwa haditsnya tidak shahih.
[15]. HR. Ahmad (no. 16523), dan para perawinya tsiqat kecuali Abul Mughirah, ia adalah shaduq.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122).
[17]. Peristiwa ini sebelum turunnya ayat hijab, wallaahu a’lam.
[18]. HR. Al-Bukhari (no. 1968) kitab ash-Shiyaam, at-Tirmidzi (no. 2413).
[19]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Muslim (no. 1159).
[20]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 2049).
[21]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (IV/128), ‘Abdurrazzaq (no. 10382, VI/ 170).
[22]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/31).
[23]. ‘Abdurrazzaq (no. 10384, VI/170), Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/47-48). Amirul Mukminin z hanyalah ingin membangkitkan semangat bawahannya itu supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawa-id belum menikah, padahal usianya semakin tua. Lihat Fat-hul Baari (IX/91), al-Ihyaa’ (II/23), al-Muhalla (IX/44).
[24]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 10386, VI/171).
[25]. HR. Muslim (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128).
[26]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/5-6).
[27]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.
[28]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/6).
[agoezta]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar